SANCAnews – Dewan Pendiri Koalisi Peduli
Indonesia (KPI), Hilman Firmansyah menilai, ambang batas pencalonan Presiden
(Presidential Threshold) telah mereduksi hak rakyat untuk memilih.
Sebab, hanya mereka yang bisa lolos ambang batas itulah yang
bisa mengajukan Calon Presiden (Capres) dan pilihan rakyat pun menjadi
terbatas.
Himan berpandangan, jika Pemilu langsung 2024 diberlakukan Presidential Threshold maka akan berdampak terjadinya permainan uang, atau kuasa uang. Analisa Hilman, kekuatan permainan uang kemudian sangat dominan di dalamnya.
"Yang tak kalah penting PT itu kemudian juga munculkan
apa yang disebut kuasa uang yang membungkam demokrasi," demikian kata
Hilman dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/8).
Hilman menegaskan, politik uang bukan sekadar
memperjualbelikan suara rakyat (vote buying). Bentuk lain politik uang bisa
saja money politic, electoral corruption, ada political corruption dan lainnya.
Hilman kemudian mengkhawatirkan biaya politik uang yang harus
dipunyai oleh setiap calon presiden dan wakil presiden.
"Praktik politik uang ini bisa kita lihat saat calon
presiden dan wakil presiden yang tengah mencari dukungan dari partai politik,
karena imbas dari keberadaan presidential threshold," terang Hilman.
Ia meyakini praktik demokrasi semacam itu merupakan jenis korupsi pemilu, "Kalau kita bicara presidential threshold, maka yang paling berkaitan dengan itu adalah bagaimana calon kandidat presiden atau wakil presiden memberi mahar ke partai politik untuk bisa dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden," jelasnya.
Atas dasar itulah, KPI mendukung langkah Rizal Ramli untuk
terus memperjuangkan penghapusan ambang batas pencalonan atau presidential
threshold 20 persen bersama tokoh nasional lainnya.
"Menurut Rizal ramli presidential threshold adalah
sistem yang keliru namun disenangi partai politik. Kesenangan itu, karena
adanya upeti atau mahar politik yang diterima dari calon pemimpin,"
demikian Hilman mengutip pandangan Rizal Ramli.
Hilman kemudian mengusulkan adanya revisi UU Pemilu yang mendorong
munculnya lebih dari 2 pasangan calon. UU Pemilu, ditambahkan Hilman harus
merepresentasikan substansi mendorong banyak calon lebih dari dua pasangan
calon.
"Jadi calon itu harus lebih dari dua pasangan sebagai
ikhtiar transisi dan pembelajaran demokrasi baik untuk elite maupun rakyat
Indonesia," pungkasnya. (rmol)