SANCAnews – Koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH
Ma’ruf Amin kini sudah menguasai 82 persen kursi di DPR RI.
Dengan resmi bergabungnya PAN, kini sudah total 471 kursi di
DPR jadi pendukung pemerintah. Tersisa Partai Demokrat 54 kursi dan PKS 50
kursi yang jadi partai oposisi.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon
menyebutkan pemerintah kini dengan mudah dapat mengubah konstitusi apapun,
termasuk UUD 1945.
Sebab untuk mengubah, UUD 1945 koalisi pemerintah hanya butuh
tambahan 3 kursi DPD lagi untuk mendapatkan dukungan 2/3 suara di MPR.
“1. Koalisi pemerintah saat ini sudah sangat tambun. 82
porsen! Dgn 471 kursi DPR. Total kursi MPR: 711 (575 DPR + 136 DPD). 2/3 nya =
474. Jadi cukup tambahan 3 kursi DPD lagi, mau MENGUBAH ISI KONSTITUSI YG
MANAPUN pasti lolos,” kata Jansen dikutip di akun Twitternya, Jumat
(27/8/2021).
Bukan tidak mungkin, kata anak buah Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY) itu koalisi pemerintah bisa mengusulkan perpanjangan masa jabatan
presiden.
“Termasuk perpanjangan masa jabatan dan 3 periode,” ungkap
Jansen.
Jansen lantas menjelaskan sejarah amandemen Pasal 7
Undang-Undang Dasar (UUD 1945) yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia.
“Masa jabatan Presiden 2 periode adl hasil koreksi kita atas
masa lalu. Dimana para perumusnya masih banyak yg hidup. Jika ditelusuri
sejarah pembahasan & perubahan Pasal 7 UUD ini: tidak ada satupun
fraksi/partai ketika itu yg menolak. Semua sepakat termasuk fraksi TNI/Polri,”
jelasnya.
“Dalam sejarah ketatanegaraan didunia, terbukti dalam banyak
praktek (termasuk di Indonesia): “habitusnya, semakin lama seorang berkuasa
akan semakin sewenang-wenang”. Itu maka pengawasan yg paling efektif bukan dgn
chek and balances tapi dgn membatasi masa jabatan itu sendiri!Jansen
Sitindaon,” lanjutnya.
Politikus Partai Demokrat itu menilai saat ini belum ada
urgensinya UUD 1945 untuk diamandemen.
“Krn fungsi konstitusi itu: utk tujuan jangka panjang bangsa.
Bukan jangka pendek demi melanggengkan kekuasaan semata. Jika ini terjadi, kita
bukan hanya mematikan semangat reformasi, tapi kembali ke zaman “kegelapan
demokrasi”,” tegasnya.
Karena itu, dirinya dengan tegas akan menolak rencana
mengubah masa jabatan presiden jadi tiga periode.
“TERAKHIR, ini sikap saya: jika amandemen terhadap
perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan Presiden ini dilakukan, sebagai
politisi dan warganegara saya menolaknya. Saya tidak ingin tercatat dlm lembar
sejarah jadi bagian kembalinya zaman kegelapan demokrasi di Indonesia,”
ungkapnya.
Seperti diketahui, setelah Indonesia memasuki Orde Reformasi,
amandemen UUD 1945 baru dilakukan yakni sebanyak empat kali oleh MPR, termasuk
untuk Pasal 7 yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Amandemen Pasal 7 UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober
1999.
Hasilnya adalah adanya sedikit perubahan untuk Pasal 7 dan
beberapa tambahan yang meliputi Pasal 7A, 7B, dan 7C.
Setelah amandemen tersebut, jabatan Presiden dan Wakil
Presiden hanya bisa dipegang selama 2 (dua) periode berturut-turut oleh seorang
presiden yang sama.
Berikut ini isi Pasal 7 UUD 1945 sebelum dan sesudah
amandemen, seperti dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-R):
Sebelum Amandemen
Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Setelah Amandemen
Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan.*)
Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
Pasal 7B (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. ***)(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut
ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat. ***)(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah
Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. ***)(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling
lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)(5) Apabila Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. ***)(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima
usul tersebut. ***)(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
***)
Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat. ***) (fajar)