SANCAnews – Praktik oligarki sejauh ini masih
memenuhi ruang politik di Tanah Air. Padahal, adanya oligarki justru akan
merusak sendi-sendi demokrasi yang dibangun di Tanah Air.
"Oligarki tak hanya penghalang cita-cita kebangsaan,
tapi pembunuh demokrasi," kata Ketua Majelis Aktivis Pro Demokrasi
(ProDem), Iwan Sumule dikutip dari akun Twitternya, Senin (23/8).
Ia menjelaskan, seorang pejabat negara harusnya bekerja
dengan mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara serta mewujudkan keadilan
sosial dan kesejahteraan umum sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, fakta di lapangan mengatakan hal berbeda. Iwan
Sumule turut menautkan potongan video wawancara antara aktivis hak asasi
manusia Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti.
Dalam video tersebut, Haris dan Fatia membahas soal tambang
emas di Intan Jaya, Papua yang disinyalir dikuasai oleh segelintir pihak.
"Toba Sejahtera Group ini dimiliki sahamnya oleh pejabat
kita, namanya Luhut Binsar Pandjiatan. Luhut bisa dibilang bermain di dalam
pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," jelas Fatia
dalam potongan video yang diunggah Iwan Sumule.
"Oligarki adalah pembunuh demokrasi, tapi Luhut malah
jadi oligarki baru," demikian Iwan Sumule mengakhiri unggahan tersebut.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebelumnya merilis
laporan bertema “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan
Jaya" pada 12 Agustus 2021 lalu. Sejumlah LSM yang turut terlibat adalah
YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua,
KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia.
Para peneliti melakukan kajian cepat terkait operasi militer
ilegal di Papua dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik. Kajian ini juga
memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan
penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan
Jaya.
Masih dalam laporan tersebut, ada empat perusahaan di Intan
Jaya yang teridentifikasi, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT
Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan
PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).
Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia
(PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi tambang emas yang
teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar
Pandjaitan.
“Penguasaan wilayah konsesi industri pertambangan yang
dilakukan oleh berbagai perusahaan di wilayah konflik telah melanggar hak-hak
orang asli Papua sebagai pemilik tanah adat," jelas Staf Advokasi Yayasan
Pusaka Bentala Rakyat, Tigor G Hutapea. (rmol)