SANCAnews – Berlakunya ambang batas pencalonan
atau presidential threshold merupakan perbuatan kriminal dalam politik yang
menjadi legal dalam sistem hukum Indonesia hari ini.
Begitu dikatakan Mantan Menko Ekuin era Presiden Abdurrachman
Wahid, Rizal Ramli, dalam peluncuran buku karya pemerhati politik M. Rizal
Fadillah berjudul "Rakyat Menampar Muka", Kamis (19/8).
"Di UUD tidak ada kewajiban threshold, siapapun boleh
maju asal didukung oleh partai yang lolos verifikasi," ujar Rizal.
Dijelaskan Rizal, angka threshold yang tinggi sejarahnya
dimulai dari hasrat PDI Perjuangan pada tahun 2009 yang tidak menginginkan
Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menjabat untuk periode kedua.
"Saya ingat sejarahnya kok, waktu itu batasannya hanya 5
persen, kemudian PDIP pada waktu itu memblok agar SBY tidak maju, nah diubah ke
20 persen, ternyata PDIP sendiri dapatnya hanya 17 persen, akhirnya tidak bisa
juga maju sendiri, harus ngajak partainya Prabowo," terangnya.
"Jadi sebetulnya ide memperbesar threshold bukan untuk
menyederhanakan partai-partai, enggak ada itu. Idenya hanya ngeblok saja,
supaya orang nggak bisa maju," imbuhnya.
Begawan ekonom Indonesia ini menambahkan, sejak saat itu
kemudian ambang batas di dorong untuk naik dengan dalih memperkecil jumlah
partai politik di sistem demokrasi Indonesia.
"Alasan historisnya yang seolah-olah dikasih argumen
bahwa threshold harus terus dinaikkan agar partai di Indonesia jumlahnya kecil,
kan nggak ada gunanya walau kecil kalau tidak berpihak kepada rakyat,"
pungkasnya.
Hadir pembicara lainnya ekonom Anthony Budiawan, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, akademisi Ubedilah Badrun. (rmol)