SANCAnews – Sejumlah mantan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengomentari polemik lembaga antirasuah yang kini
dinilai mulai hilang kepercayaan publik. Terlebih setelah adanya temuan dari
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM yang menyatakan terdapat
pelanggaran dalam asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).
Para mantan Pimpinan KPK itu berbicara dalam diskusi virtual
bertajuk “Menyoal Masa Depan KPK Setelah Temuan Ombudsman dan Komnas HAM” yang
digelar secara virtual, Minggu (29/8).
Mantan Wakil Ketua KPK Mochamad Jasin menyampaikan, upaya
pelemahan terhadap lembaga antirasuah sudah terjadi sejak 2005 lalu. Hal ini
menjadi persoalan bagi koruptor, karena KPK berhasil melakukan penangkapan
melalui upaya penyadapan.
“Amandemen Undang-undang KPK didengungkan sejak 2005, memilih
pemimpin tidak berintegritas yang bisa diajak kompromi, seperti pimpinan
sekarang, tidak independen, alih status pegawai KPK, tes pegawai KPK melalui
TWK, memecat pegawai,” kata Jasin.
Jasin juga tak memungkiri, imbas revisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2018 kini mengalami
penurunan.
“KPK ada tapi hanya berfungsi sebagai lembaga pencegahan dan
tidak mampu memberantas dan mencegah korupsi. Ya contohnya dengan temuan-temuan
Ombudsman dan Komnas HAM ini,” cetus Jasin.
Dia menyebut, pegawai yang dinilai berintegritas dan berhasil
menangkap dua menteri setelah revisi Undang-Undang KPK kini justru nasibnya
terkatung. Menurutnya, mereka kini dinonaktifkan usai gagal tes wawasan
kebangsaan (TWK).
“TWK ini sebagai sarana untuk memecat pegawai,” ucap Jasin.
Hal senada juga disampaikan oleh mantan Wakil Ketua KPK Saut
Situmorang yang menyebut, kepercayaan publik terhadap KPK di era kepemimpinan
Firli Bahuri kini sangat rendah.
“Kalau memang kita pingin memberantas korupsi dengan seperti
apa yang dimaksud oleh reformasi dengan situasi struktur organisasi seperti
sekarang ini dengan yang didalamnya masih bagian dari masalah, anda tidak bisa
mengharapkan apa-apa dari KPK,” ujar Saut.
“Sudah jelas dari lima (pimpinan KPK), tiga bermasalah. Satu
kurang umur okelah nggak apa-apa. Jadi kalau divoting itu yang berintegrity itu
cuma satu orang,” imbuhnya.
Saut pun tak memungkiri, kemunduran kinerja KPK terjadi
semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dia mengakui,
sejak awal dirinya memang tidak setuju dengan disahkannya undang-undang
tersebut.
“Anda bisa bayangkan, dalam keadaan seperti itu kita mau
membersihkan Indonesia yang APBN-nya seperti itu, utang luar negerinya seperti
itu, bansosnya seperti itu, kemudian masyarakatnya juga masih sedang sakit.
Kemudian mereka bisa mentriger apa?,” tegas Saut.
Senada juga disampaikan, mantan Ketua KPK Abraham Samad yang
tak menginginkan, lembaga yang pernah dipimpinnya akan punah seperti
dinosaurus. Dia menegaskan, KPK salah satu lembaga penegak hukum yang dipercaya
publik dalam melakukan pemberantasan korupsi.
“Saya tidak heran KPK sekarang ini sudah hilang, seperti
dinosaurus yang langka yang punah,” ucap Samad.
Samad menjelaskan, masyarakat harus tetap bersatu untuk
menjaga keberadaan KPK. Dia tak memungkiri, KPK secara kelembagaan sebelum
adanya revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, merupakan lembaga yang memiliki budaya
organisasi yang sangat kuat.
Saut mencontohkan, sewaktu masih menjabat sebagai Ketua KPK
pernah disodorkan surat keputusan (SK) pemberhentian pegawai. Saat itu menduga,
SK tersebut merupakan pegawai yang menerima suap, tetapi justru hanya melanggar
yang bersifat privasi.
“Setelah saya periksa SK itu untuk diberhentikan orang ini hanya melakukan pelanggaran sifatnya privat, dia melakukan perselingkuhan pacaran dengan orang yang ada bukan di KPK, tapi di lembaga lain. Ini yang disebut zero tolerance, sehingga pelanggaran yang sifatnya privat bisa diberikan sanksi pemberhentian. Kalau dilembaga lain mungkin itu hanya SP1,” pungkas Samad. (jawapos)