SANCAnews –
Koalisi Guru Besar Antikorupsi mengapresiasi temuan Ombudsman Republik
Indonesia (ORI) dalam menyikapi laporan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Sebab Ombudsman menyatakan, terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai KPK
menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa penting untuk menyerukan agar Pimpinan KPK segera melantik 75 pegawai menjadi aparatur sipil negara,” kata Anggota Koalisi Guru Besar Antikorupsi, Prof Azyumardi Azra dalam keterangannya, Selasa (27/7).
Dia
menjelaskan, ada ada dua poin yang melandaskan kesimpulan tersebut. Pertama,
selaku aparat penegak hukum, sudah selayaknya KPK taat atas keputusan lembaga
negara yang dimandatkan langsung oleh Undang-Undang untuk memeriksa dugaan
maladminstrasi.
“Poin ini
pun ditegaskan dengan adanya Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Ombudsman yang
menyatakan terlapor (KPK) wajib hukumnya melaksanakan rekomendasi Ombudsman.
Jadi, masyarakat tentu tidak berharap KPK menggunakan dalih-dalih lain untuk
menghindar dari kewajiban ini,” ujar Azra.
Kedua,
temuan Ombudsman penting untuk ditindaklanjuti di tengah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap KPK. Sebab berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei,
lanjut Azra, KPK yang sediakala selalu mendapatkan apresiasi oleh masyarakat,
sekarang justru bertolak belakang.
“Anomali ini
mesti disikapi secara bijak dan profesional, setidaknya maladministrasi TWK ini
dapat menjadi bahan evaluasi mendasar bagi KPK. Terlebih selama periode
perdebatan TWK, KPK juga terlihat arogan karena mengabaikan instruksi Presiden
dan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Azra.
Meski
demikian, jika KPK juga enggan untuk melantik 75 pegawai, maka Presiden Joko
Widodo selaku Kepala Negara mesti bertindak. Pilihannya ada dua, Presiden
memerintahkan secara langsung Pimpinan KPK atau Presiden mengambil alih untuk
melaksanakan putusan Ombudsman dan melakukan prose pelantikan pegawai KPK.
“Hal ini penting untuk segera menyudahi kegaduhan di tengah situasi pandemi Corona Virus Disease-19. Selain itu, penting pula untuk dicatat, selaku eksekutif tertinggi, baik KPK maupun BKN, wajib hukumnya mengikuti arahan Presiden,” cetus Azra.
Dalam hasil
pemeriksaan Ombudsman, Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membeberkan
maladministrasi dalam pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai
KPK menjadi ASN. Dia menyebut, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan
Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK
menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020, hingga pada Januari 2021. Dia menyebut,
saat itu belum muncul klausul TWK.
Menurutnya
ide TWK muncul sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir, tepatnya pada 25
Januari 2021. TWK diduga disisipkan dalam syarat alih status pegawai KPK
menjadi ASN.
“Ombudsman
Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat
hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5
Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan
ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” ujar Robert dalam
konferensi pers daring, Rabu (21/7).
Dalam hasil
penelusuran Ombudsman, pihaknya juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan
penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021. Menurutnya,
berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya
dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro,
JPT, pejabat administrast dan panja.
Tetapi hal
itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari
2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan
para pimpinan lembaga.
“Ada lima
pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan
Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa,” ungkap Robert.
Dia pun
mempersoalkan terkait berita acara rapat harmonisasi, yang justru
ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala
Biro Hukum KPK, Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan
Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.
“Sekali lagi
yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak
hadir, yakni level JPT,” papar Robert menandaskan. (jawapos)