SANCAnews – Pemerhati imunisasi dari Indonesian Technical
Advisory Group on Immunization (ITAGI), Julitasari Sundoro, menepis informasi
terkait risiko kematian penerima vaksin Covid-19 pada dua tahun usai menerima
suntikan.
"Sekarang penelitian di dunia itu belum sampai dua
tahun. Jadi kita tidak tahu yang menyebabkan akan meninggal dua tahun itu hanya
Tuhan yang tahu," katanya dalam Dialog Produktif Kabar Kamis Siang
bertajuk "Hindari Hoax Seputar Vaksinasi" yang dipantau di Jakarta,
Kamis (3/6/2021).
Julitasari mengatakan, tujuan memberikan vaksin supaya
terbentuk imunitas pada tubuh seseorang, sebagai proteksi terhadap penyakit
Covid-19.
Harapannya, kata Julitasari, akan timbul antibodi pada tubuh
seseorang yang menerima vaksin untuk melawan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Meskipun kita tidak tahu 100 persen (kemanjuran), tetap
harus memakai protokol kesehatan," katanya.
Pada akhir Mei 2021, beredar pesan berantai di media sosial
WhatsApp dengan narasi bahwa seseorang yang menerima suntikan vaksin Covid-19
akan meninggal pada dua tahun kemudian.
Dalam pesan itu juga tercantum salah satu nama mantan
peneliti vaksin Pfizer yang menyatakan selepas suntikan vaksin pertama terdapat
sejumlah 0,8 persen akan mati dalam masa dua pekan.
"Mereka akan mampu bertahan hidup sekitar dua tahun,
namun kemampuan tersebut dikurangi dengan penambahan top-up suntikan vaksin
sebab menyebabkan kemerosotan fungsi organ tertentu dalam badan manusia,
termasuk jantung, paru-paru dan otak," demikian salah satu poin dari isi
pesan tersebut.
Perempuan yang menjabat sebagai sekretaris ITAGI itu
memastikan bahwa pesan tersebut merupakan kabar bohong. Sebab penelitian vaksin
di dunia hingga saat ini belum ada yang tuntas 100 persen.
"Semua vaksin akan diuji dalam waktu 2 bulan setelah
vaksinasi lengkap, 6 bulan, 1 tahun, jadi belum sampai 2 tahun itu masih lama,
yang 12 bulan aja belum selesai," katanya. []