SANCAnews – Keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) China berpotensial
merugikan negara Rp5,6 triliun per tahun. Negara kehilangan penerimaan pajak
dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA).
“Potensi kerugian negara akibat tidak dibayarnya pajak dan
DKPTKA adalah sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA China
yang bekerja adalah 5000 orang per smelter, maka potensi kerugian negara adalah
Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan ada 30 smelter yang beroperasi,
masing-masing mempekerjakan 5000 orang TKA, maka total potensi kerugian negara
adalah Rp 5,68 triliun per tahun,” kata Komite SDA dan LH KAMI Marwan Batubara
kepada www.suaranasional.com, Kamis (28/5/2021).
Menurut Marwan, pemerintah belum pernah melakukan audit
terhadap puluhan smelter yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian praktik
curang dan manipulatif investor China dan konglomerat yang merugikan ekonomi
dan keuangan negara triliunan Rp tersebut dapat leluasa berlangsung
bertahun-tahun tanpa sanksi hukum.
Marwan mengatakan, masalah TKA China terkait visa, pajak,
DKPTKA dan tidak jelasnya kontribusi bagi daerah penghasil SDA ini terus
berlangsung dan mendapat perlindungan pemerintah atas nama investasi (FDI), pertumbuhan
ekonomi dan proyek strategis nasional.
“Rakyat sendiri dipajaki, sementara sebagian perusahaan China
dan konglomerat oligarkis bebas bayar pajak dan mendapat pula berbagai
fasilitas yang melanggar aturan. Hal ini jelas merupakan bentuk penjajahan yang
nyata di NKRI,” ungkapnya.
Keberadaan TKA China merupakan perampokan hak pribumi untuk
bekerja dan kerugian keuangan negara triliunan Rp dari manipulasi pajak dan
DKPTKA.
“Pelanggaran tersebut bukan saja direkayasa dan disengaja,
tetapi juga berjalan aman, terkesan mendapat dukungan atau minimal perlindungan
dari oligarki penguasa-pengusaha dan pemerintah,” jelas Marwan.
KAMI, kata Marwan, menuntut pemerintah dan lembaga-lembaga
terkait untuk memproses pelanggaran hukum para TKA China dan seluruh perusaahaan
yang mempekerjakan mereka karena melanggar Pasal 63 ayat 2 dan 3, serta Pasal
122 huruf a dan b UU No.6/2011 tentang Keimigrasian;
“Dalam konteks pertahanan dan ketahanan nasional, menuntut
pemerintah dan DPR untuk mengawasi dan menjamin terhindarnya negara dari
ancaman rekayasa sistemik militer dan geopolitik China,” pungkasnya. []