SANCAnews – Surat Telegram Kepala Kepolisian RI (Kapolri)
sempat disinggung dalam sidang lanjutan kasus swab test RS UMMI dengan terdakwa
Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (19/5/2021).
Awalnya salah satu kuasa hukum Rizieq yakni Aziz Yanuar dalam
sidang bertanya kepada Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun yang dihadirkan
sebagai saksi ahli.
Aziz bertanya kepada Refly soal penerapan Pasal 216 KUHP
ternyata banyak didasari dari adanya Surat Telegram Kapolri nomor
ST/3220/XI/S/7/2020 tanggal 16 November 2020.
"Pertanyaannya menurut hukum tata negara apakah telegram
tersebut dapat menjadi rujukan adanya pelanggaran prokes?," tanya Aziz
dalam sidang.
Mendengar hal itu Refly kemudian memberikan jawabannya.
Menurutnya, Surat Telegram, Maklumat hingga Surat Edaran tidak termasuk dalam
hirarki perundang-undangan.
Sehingga, kata dia, adanya Telegram hingga Surat Edaran
tersebut tak bisa dikategorikan sebagai peraturan yang mengikat secara umum.
"Yang namanya telegram ada yang namanya maklumat ada
surat edaran yang menurut saya itu tidak bisa dianggap sebagai sebuah peraturan
yang mengikat secara umum," kata Refly.
Menurut Refly peraturan itu bisa dikatakan mengikat dalam
ranah internal kepolisian saja. "Tapi untuk mengungkapnya kepada publik
atau masyarakat luas maka dia tidak bisa dilakukan melalui surat telegram
tersebut," tuturnya.
Adapun kekinian, kata Refly, Surat Telegram hingga Surat
Edaran tetap dikeluarkan lantaran adanya kebiasaan yang dilakukan oleh
institusi Polri. Menurutnya, hal itu bisa diubah, misalnya dengan membuat baju
peraturan.
"Padahal undang-undang sudah mengatakan kalau kita ingin
peraturan undang-undang yang mengikat maka buat lah dia dalam baju
peraturan," tuturnya.
Untuk diketahui dalam kasus swab test RS UMMI, Habib Rizieq
Shihab didakwa dianggap telah menyebarkan berita bohong atau hoaks yang
menyebabkan keonaran soal kondisi kesehatannya yang terpapar Covid-19 saat
berada di RS UMMI Bogor.
Habib Rizieq dalam perkara tersebut didakwa dengan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (sc)