SANCAnews – Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
mengaku prihatin atas polemik 75 pegawai KPK yang gagal tes wawasan kebangsaan
(TWK). Oleh sebab itu, PGI akan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kita sangat prihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK
yang terjadi selama ini, terutama yang memuncak dengan pelabelan intoleran dan
radikalisme atas 75 pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan
belakangan ini," kata Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, dalam
keterangan tertulis, Jumat (28/5/2021).
PGI menyampaikan hal itu saat menerima 9 perwakilan dari
pegawai KPK bersama tim hukumnya. Gomar menyebut PGI akan meminta Jokowi
menyelamatkan KPK lewat surat tersebut.
"Dengan disingkirkannya mereka yang selama ini memiliki
kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK,
dikhawatirkan akan membuat para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan
tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK di masa depan karena
khawatir mereka di-TWK-kan dengan label radikal," lanjut Gomar.
Gomar menyebut para pegawai KPK yang tak lolos TWK adalah
yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan.
Salah satu perwakilan pegawai KPK yang hadir dalam pertemuan
dengan PGI, Novel Baswedan, menuturkan selama ini dia dan rekan-rekannya
bekerja profesional. Namun, lanjut Novel, dia tiba-tiba dilabeli radikal.
"Bagaimana kita mau berbangsa bila yang selama ini
bekerja profesional tiba-tiba dilabeli radikal dan menjadi musuh negara?"
ucap Novel.
Novel juga berpendapat TWK bukan alat untuk penentu
lulus-tidaknya seseorang menjadi ASN dalam konteks alih status pegawai ini.
Novel menyebut dirinya sudah ditarget.
"Prosesnya adalah upaya yang sudah ditarget. Ada fakta
dan bukti untuk ini. TWK hanyalah justifikasi untuk target tertentu,"
lanjutnya.
Hotman Tambunan mengeluhkan ketika taat beragama diidentikkan
dengan talibanisme.
Salah satu pegawai KPK yang merupakan jemaat gereja, Hotman
Tambunan, mengatakan pegawai KPK harus taat beragama lantaran banyak godaan
dalam pekerjaannya. Namun ketaatannya itu membuat dia dicap radikal.
"Kami harus taat beragama, karena agamalah yang mengajar
kami untuk berbuat seturut etika. Di KPK itu godaannya banyak sekali, dan
ancaman selalu datang. Nilai-nilai agamalah yang membuat kami tetap
bertahan," ucap Hotman.
Pegawai KPK yang tak lolos TWK lainnya, Adri Deddy
Nainggolan, membantah adanya penyidik yang menganut paham radikal di KPK.
"Tidak ada itu. Dan celakanya warga gereja pun mudah termakan oleh isu
ini," timpal Adri.
Selanjutnya anggota tim hukum 75 pegawai KPK yang tak lulus
TWK, Saor Siagian, menyebut pimpinan KPK yang lalu, Saut Situmorang, juga
pernah membantah isu radikalisme di KPK.
"Tiga dari Komisioner KPK periode baru lalu Kristen, dan
Sekjen KPK juga Kristen. Saut Situmorang berkali-kali berkata, tidak ada
talibanisme di KPK," ucap Saor.
Pegawai KPK lainnya, Rasamala Aritonang, menganalogikan KPK
sebagai pisau yang memotong korupsi. Kegagalan dia dan 74 penyidik lainnya
dalam tes TWK, kata Rasamala, adalah reaksi dari koruptor yang ingin membuang
'pisau' itu.
"Kami sebagai KPK ini tantangannya berat. Kami
berhadapan dengan koruptor. Dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya
akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian
badan yang koruptif. Dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau
ini. Itu yang sedang kami alami," ungkap Rasamala.
Menanggapi keluhan para pegawai KPK itu, Sekretaris Umum PGI
Pendeta Jacky Manuputty menyampaikan kekhawatiran akan fenomena pabrikasi hoax
di media sosial. Menurutnya, fenomena pabrikasi hoax mudah mengubah persepsi
seseorang dan hal tersebut, menurut Jacky, terjadi dalam upaya pelemahan KPK.
Kembali ke Pendeta Gomar, dia juga mengaku heran karena
menilai arahan Jokowi untuk tidak menggunakan TWK sebagai dasar penonaktifan
pegawai KPK diabaikan, "Siapa sebenarnya yang menjadi presiden?"
pungkas Gomar. []