SANCAnews – Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dinilai
gagal. Pasalnya, sejak dilantik pada tahun 2017, sudah cukup banyak prajurit
TNI yang gugur di Papua, mulai tingkat paling rendah dan yang terakhir perwira
tinggi TNI Mayjen Anumerta Gusti Putu Dani.
Pengamat militer yang juga Direktur Eksekutif Studi Demokrasi
Rakyat (SDR), Hari Purwanto menyayangkan jumlah korban yang berjatuhan
bertubi-tubi di tanah Papua. Baik korbannya adalah rakyat maupun aparat.
"Kepemimpinan Panglima TNI ini merupakan sebagai suatu
kegagalan, sebab aksi penembakan oleh kelompok separatis terhadap aparat
keamanan maupun sipil terus terjadi di Papua. Setelah korban sipil yakni guru
dan siswa SMA, kali ini Kabinda Papua, Mayjen (Anumerta) I Gusti Putu Danny
Karya Nugraha, menjadi korban penembakan. Ini perwira tinggi TNI, tidak
main-main," ujar Hari, Sabtu (24/4).
Almarhum meninggal dunia saat baku tembak dengan KKB di
Kampung Dambet, Distrik Boega, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (25/4) pukul
15.50 WIT. Mayjen (Anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, merupakan
perwira tinggi TNI pertama yang meninggal dalam konflik di Papua.
Hari menjelaskan, di lapangan Panglima TNI Hadi Tjahjanto
terlihat gagal dan bimbang dalam memimpin TNI, dan terlihat sangat tidak
menguasai tugas pokok.
Dia memberi contoh pembentukan Kogabwilhan III dengan diawaki
oleh seorang Perwira Tinggia bintang tiga, membawahi Koops Pinang Sirih dengan
pimpinan seorang Brigjen, membawahi dua Satgas mobile yaitu Satgas Honai dan
Satgas Baliem dengan tupok penindakan. Koopsgab TNI Papua dipimpin Mayjen,
dibagi menjadi 2 tupok yaitu Pamtas dan Pamrahwan membawahi 3 Kolakops.
Pembentukan Satgas yang begitu kompleks.
"Ini seperti seolah-olah Panglima TNI menunjukkan serius
menangani masalah di Papua. Namun pada kenyataannya ini dapat menghabiskan uang
negara dan tidak membuahkan hasil apapun, bahkan korban berjatuhan semakin
banyak dan kondisi semakin parah," kritik Hari dalam keterangannya.
Di sisi lain, menurut beberapa sumber yang dia peroleh, tidak
sedikit prajurit TNI yang beroperasi di Papua menderita poor pay. Karena itu,
patut dipertanyakan penggunaan anggaran dukungan operasi berupa uang makan,
uang saku dan tunjangan yang seharusnya menjadi hak prajurit.
Menurut Hari, bagaimana mungkin prajurit di lapangan dapat
melakukan patroli dan pengejaran terhadap KKB dengan baik, kalau hak-hak mereka
berupa anggaran dukungan uang operasi tidak diterima sepenuhnya.
Untuk itu perlu transparansi. Pertama, berapa kekuatan riil
yang tergelar. Kedua, apakah prajurit menerima haknya sesuai dengan komponen
dukungan operasi.
"Menjadi tugas Kemenku, Kemhan, DPR dan pemeriksa
melakukan monitoring sejauh mana transparansi dari Mabes TNI selaku pengguna
kekuatan dalam menggelar kekuatan riil dan sejauh mana prajurit menerima
hak-haknya dalam tugas operasi," tukas Hari Purwanto.