SANCAnews – Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
menggugat berbagai bentuk penjajahan TKA China pada industri mineral nasional.
Diketahui bahwa Indonesia memiliki cadangan mineral cukup besar di dunia yang
diharapkan dapat memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ternyata pada industri nikel, terjadi banyak masalah,
sehingga manfaat ekonomi dan keuangan yang diharapkan tak kunjung dapat diraih.
Bahkan tenaga kerja lokal dan pribumi pun terpinggirkan, terutama akibat
kebijakan dan penyelewengan seputar TKA China.
KAMI menemukan sangat banyak masalah yang melanggar hukum,
merugikan negara dan merampas hak rakyat untuk bekerja. Meski sudah digugat
berbagai kalangan, termasuk Ombudsman, Anggota DPR, serikat pekerja,
pakar-pakar, pengurus partai dan ormas, namun masalah TKA China tetap berjalan
lancar tanpa perbaikan, sanksi atau tersentuh hukum.
Para TKA China seolah mendapat perlindungan dan jaminan dari
oknum-oknum tertentu, termasuk oligarki penguasa-pengusaha. Mereka mendapat
berbagai pengecualian, fasilitas dan kemudahan antara lain dengan dalih sebagai
penarik investasi/FDI, penggerak ekonomi nasional dan daerah, serta status
sebagai proyek strategis nasional (PSN).
Jumlah TKA China yang masuk Indonesia, terutama pada industri
nikel dan bauksit diindikasikan mencapai puluhan ribu orang dengan wilayah
tujuan terutama Sulawesi, Halmahera dan Kepulauan Riau. Cukup banyak
pelanggaran TKA China yang terjadi, namun langkah korektif dan sanksi hukum
tidak jelas dan berujung.
Kedatangan TKA China pun tidak berjalan paralel dengan
penyerapan tenaga kerja lokal secara seimbang. Selain itu, TKA China bekerja
dengan melanggar berbagai peraturan yang berlaku, seperti UU No.13/2013 tentang
Ketenagakerjaan, Permen Ketenagakerjaan No.10/2018 tentang Tata Cara Penggunaan
TKA, Kepmen Tenaga Kerja No.228/2019 tentang Jabatan Tertentu oleh TKA, dan UU
No.6/2011 tentang Keimigrasian.
Berikut ini diuraikan beberapa masalah, ironi dan pelanggaran
yang terjadi terkait penggunaan dan penjajahan TKA China di industri smelter
nasional:
Pertama, TKA China bebas masuk saat larangan kedatangan orang
asing berlaku selama pandemi Covid-19. Terdapat sekitar 10.482 TKA yang masuk
selama pandemi. Padahal Menaker telah mengeluarkan Surat Edaran
M.1.HK.04/II/2020 tentang Pelarangan sementara penggunaan TKA asal China akibat
wabah sejak Februari 2020. Antara Januari-Februari 2021, ada 1.460 TKA China
yang masuk. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi sendiri
yang melarang masuknya warga asing mulai Januari 2021.
Kedua, sebagian besar TKA China masuk menggunakan visa 212,
yaitu visa kunjungan yang tidak bersifat komersial, bukan visa untuk bekerja.
Masa berlaku Visa 212 maksimum 60 hari. Visa kunjungan telah disalahgunakan
untuk berkeja berbulan-bulan atau tahunan! Dengan puluhan smelter China, maka
ada puluhan atau ratusan ribu TKA China ilegal di Indonesia.
Ketiga, TKA yang akan bekerja di Indonesia perlu mendapat
visa 312. Namun hal ini sengaja dihindari karena harus memenuhi syarat seperti
skill, waktu dan biaya pengurusan, serta pengenaan pajak. Para pemberi kerja,
pemerintah dan para TKA sengaja menghindari penggunaan visa 312. Rekayasa dan
konspirasi ini jelas pelanggaran hukum yang serius, sudah seharusnya Penjamin
TKA ini mendapatkan sangsi Pidana.
Keempat, mayoritas TKA China yang dipekerjakan hanyalah
lulusan SD, SMP dan SMA, serta bukan tenaga terampil sesuai aturan pemerintah,
tetapi pekerja kasar. Sesuai Permenaker No.10/2018 hal ini jelas melanggar
aturan dan merampok hak tenaga kerja pribumi.
Pada kasus smelter Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI),
mengacu kepada recruitment karyawan September 2020 dipekerjakan sekitar 2000
TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Lulusan D3/S1 hanya 2% dan berlisensi
khusus 7%. Kondisi lebih parah terjadi pada perusahaan smelter Obsidian
Stainless Steel (OSS) yang mempekerjakan TKA lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA
25%. Lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus 4%. Jika disortir berdasarkan
pengalaman kerjanya, hanya 1 dari 608 orang (0,1%) TKA PT. VDNI dan 23 dari
1167 orang PT. OSS yang memiliki pengalaman diatas 5 tahun sesuai persyaratan.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP)
pernah berdalih TKA China perlu didatangkan karena tenaga kerja lokal tidak
memenuhi syarat. Kata LBP: "Kita lihat banyak daerah-daerah (penghasil)
mineral kita pendidikannya tidak ada yang bagus. Jadi kalau ada banyak yang
berteriak tidak pakai (tenaga kerja) kita, lah penduduk lokalnya saja
pendidikannya enggak ada yang bagus. Misalnya saja matematika rendah"
(15/9/2020).
Dalih LBP yang membela perusahaan China yang didukung
oligarki di atas sangat sumir, manipulatif sekaligus menyakitkan. Tenaga lokal
lulusan SMA, D3 dan S1 tersedia melimpah di Sulawesi dan Jawa. Apalagi sekedar
lulusan SD, SMP dan SMA! Padahal faktanya VDNI mempekerjakan TKA lulusan SD 8%,
SMP 39% dan SMA 44%. Sedang di OSS, TKA lulusan SD mencapai 23% dan SMP 31%!
Inilah salah satu bentuk perlindungan pejabat negara kepada perusahaan asing
China, sekaligus fakta perendahan martabat dan kemampuan bangsa sendiri.
Kelima, meskipun bekerja di Indonesia, gaji TKA China lebih
besar signifikan dibanding gaji pekerja pribumi. Hal ini mengusik rasa
keadilan, sekaligus menghina rakyat Indonesia. Pada smelter VDNI, persebaran
gaji bulanan sekitar 27% TKA menerima Rp 15 juta - Rp 20 juta; 47% menerima Rp
21 juta - Rp 25 juta; 16% menerima Rp 26 juta - Rp 30 juta; 5% menerima Rp 31
juta - Rp 35 juta, dan 4% menerima 36 juta - Rp 40 juta. Hal hampir sama
terjadi pada smelter OSS. Mayoritas TKA lulusan SD, SMP dan SMA. Namun memperoleh
gaji BESAR dengan sebaran antara Rp 15 juta hingga Rp 35 juta.
Untuk jenis pekerjaan yang sama, gaji TKA China ini jauh di
atas gaji pekerja pribumi lulusan SD-SMA yang hanya berkisar antara Rp 4 juta
hingga Rp 5 juta, sudah termasuk lembur. Nasib pekerja lokal dan nasional di
smelter-smelter milik China dan konglomerat oligarkis memang tragis. Sudahlah
kesempatan kerjanya dibatasi atau dirampok TKA China, gajinya pun umumnya super
rendah dibanding gaji TKA China! Kita terjajah di negeri sendiri.
Keenam, sistem pembayaran gaji para TKA China dilakukan oleh
sebagian investor di China daratan. Uang dari gaji tersebut tidak beredar di
Indonesia, tidak ada uang masuk ke Indonesia. Hal ini jelas merugikan ekonomi
nasional dan daerah yang berharap perputaran ekonomi, peningkatan PDRB dan
nilai tambah. Berhentilah mengharap nilai tambah. Sebab, kesempatan kerja kasar
bagi lulusan SD-SMA pribumi saja sudah dirampok TKA China!
Ketujuh, dengan pembayaran sebagian gaji TKA di China, maka
negara kehilangan penerimaan pajak dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA).
Tidak ada jaminan VDNI, OSS dan sejumlah perusahaan smelter China lain,
khususnya pada industri nikel dan bauksit membayar pajak dan DKPTKA. Rekayasa
dan manipulasi sistemik ini, termasuk penggunaan visa kunjungan membuat negara
berpotensi kehilangan PNBP sangat besar.
Kedelapan, pemerintah belum pernah melakukan audit terhadap
puluhan smelter yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian praktik curang
dan manipulatif investor China dan konglomerat yang merugikan ekonomi dan
keuangan negara tirliunan Rp tersebut dapat leluasa berlangsung bertahun-tahun
tanpa sanksi hukum.
KAMI menemukan bahwa potensi kerugian negara akibat tidak
dibayarnya pajak dan DKPTKA adalah sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun.
Jika jumlah TKA China yang bekerja adalah 5000 orang per smelter, maka potensi
kerugian negara adalah Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan ada 30 smelter
yang beroperasi, masing-masing mempekerjakan 5000 orang TKA, maka total potensi
kerugian negara adalah Rp 5,68 triliun per tahun!
Jika masalah visa, pajak, DKPTKA dan tidak jelasnya
kontribusi bagi daerah penghasil SDA ini terus berlangsung dan mendapat
perlindungan pemerintah atas nama investasi (FDI), pertumbuhan ekonomi dan
proyek strategis nasional, lalu negara mendapat apa? Rakyat sendiri dipajaki,
sementara sebagian perusahaan China dan konglomerat oligarkis bebas bayar pajak
dan mendapat pula berbagai fasilitas yang melanggar aturan. Hal ini jelas
merupakan bentuk penjajahan yang nyata di NKRI!
Khusus masalah TKA China, seperti diuraikan di atas minimal
KAMI menemukan 8 (delapan) masalah, termasuk perampokan hak pribumi untuk
bekerja dan kerugian keuangan negara triliunan Rp dari manipulasi pajak dan
DKPTKA. Pelanggaran tersebut bukan saja direkayasa dan disengaja, tetapi juga berjalan
aman, terkesan mendapat dukungan atau minimal perlindungan dari oligarki
penguasa-pengusaha dan pemerintah.
Apa yang terjadi pada VDNI dan OSS ini patut diduga menjadi
modus operandi ratusan investasi China yang dilakukan di Indonesia. Patut pula
diduga keberadaan ratusan ribu TKA China yang berada di Indonesia dari Sabang
sampai Merauke, akan menjadi ancaman terhadap ketahanan territorial Indonesia.
Hal ini harus dibuka terang-benderang dan diselesaikan sesuai hukum secara
transparan, bermartabat dan berdaulat!
Sehubungan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, Koalisi
Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merekomendasikan langkah-langkah cepat dan
tanggap yang sudah harus dilakukan, sebagai berikut:
1. Menuntut pemerintah dan lembaga negara terkait untuk
melakukan audit terhadap VDNI, OSS dan seluruh perusahaan China yang
mempekerjakan TKA China di Indonesia;
2. Menuntut pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk
memproses pelanggaran hukum para TKA China dan seluruh perusaahaan yang
mempekerjakan mereka karena melanggar Pasal 63 ayat 2 dan 3, serta Pasal 122
huruf a dan b UU No.6/2011 tentang Keimigrasian;
3. Dalam konteks pertahanan dan ketahanan nasional, menuntut
pemerintah dan DPR untuk mengawasi dan menjamin terhindarnya negara dari ancaman
rekayasa sistemik militer dan geopolitik China.
Akhirnya dibutuhkan segenap kesungguhan hati, keseriusan,
perhatian dan dukungan seluruh komponen bangsa, khususnya kepada Komisi IX DPR
RI demi keselamatan dan tetap tegaknya nusa, bangsa, negara Indonesia tercinta.
***
Marwan Batubara
Komite SDA & LH KAMI
Adhie M. Massardi, Gde Siriana Yusuf, Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif KAMI