SANCAnews – Panglma Kodam Jaya, Mayjen Dudung Abdurachman pun
tidak peduli dituding hanya berani menurunkan baliho Front Pembela Islam (FPI)
saja. Dudung telah membuktikan ia dilahirkan sebagai perwira tempur. Penugasan
pertamanya sebagai perwira setelah lulus Akmil 1988-B, ditempatkan di Batalyon
Infanteri (Yonif) 744 Dili, Timor Timur.
Selama tujuh tahun 1988-1993 sebagai komandan peleton, ia
bergelut dengan suasana operasi militer di Timor Timur. Setelah itu ia
dipindahkan ke Yonif 741 di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Ia juga beberapa kali
ditugaskan dalam operasi di Aceh maupun Maluku, termasuk dua kali sebagai
pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagai komandan peleton, komandan kompi, wakil komandan
batalyon, dan komandan batalyon, ia ditugaskan ke daerah operasi. "Kalau
ada yang meledek saya hanya berani turunkan baliho saja, tidak apa-apa. Mungkin
mereka belum tahu riwayat penugasan operasi saya sejak pangkat Letda hingga
Letkol," ujarnya di Jakarta, belum lama ini.
Dalam beberapa kesempatan wawancara, Dudung mengungkapkan, di
manapun dia ditugaskan, harus ada getaran yang dilakukannya sebagai pemimpin.
"Pemimpin harus bisa menciptakan getaran dalam setiap jabatan yang
diamanahkan," ujar Dudung yang sedang mengambil kuliah doktoral manajemen strategis.
Dudung memang dikenal berani mengambil risiko dan tidak
begitu peduli dengan penilaian orang lain atas keberanian sikapnya. "Saya
ini orang kecil. Menjadi anak yatim saat masih SMP. Almarhum ayah saya wafat
saat saya di SMP. Sehingga saya harus membantu ibu dengan bekerja sejak SMP
hingga SMA," kata Dudung dalam wawancara dengan penulis di atas mobil
dinasnya, baru-baru ini.
Sambil wawancara, kemudian melaksanakan sholat Jumat di
sebuah masjid di Kawasan Menteng. Dudung menceritakan saat remaja kerap tidur
dari satu masjid ke masjid lainnya. Rumah ibadah itu tempat untuk mengadu
kepada Allah, Tuhan sang Maha pencipta. Sehingga ia tidak meninggalkan sholat
lima waktu dan membaca Alquran. Ia harus menjadi loper koran di Bandung.
Pekerjaan yang dimulai saat Subuh mengantarkan koran ke
rumah-rumah dan sejumlah instansi di Bandung. Setelah itu ia menjual kue-kue,
sebelum berangkat ke sekolah. “Bapak saya hanya seorang pegawai negeri sipil di
Bekang Kodam Siliwangi. Saya anak keenam dari delapan bersaudara. Ibu saya
hanya ibu rumah tangga."
Saat menjadi Gubernur Akmil, ia juga membangun gereka Katolik
dan pura bagi taruna beraga Katolik dan Hindu untuk melaksanakan ibadah.
"Sekian tahun mereka tidak punya tempat ibadah di Akmil. Saya bangunkan
tempat ibadah supaya mereka dekat dengan Tuhan sesuai agama dan kepercayannya
masing-masing."
Cita-citanya hanya menjadi perwira biasa saja. Tidak
membayangkan akan menjadi jenderal. Kalau sekarang menjadi jenderal, baginya
itu berkah Allah. Cita-citanya berawal ketika menjual kue kelepon, baskomnya
ditendang tentara di Kodam Siliwangi.
"Dari situ saya dendam. Awas ya kalau nanti saya jadi
perwira, saya akan benahi tentara-tentara yang zalim kepada rakyat," kata
Dudung. Ia menikah dengan Rahma Setyaningsih, anak dari Mayjen (Purn) Cholid
Ghozali, abituren Akmil 1965.
Dia menyadari hidup ini banyak mengandung risiko, namun
Dudung meyakini, jika hati nurani kuat, apa pun harus berani dihadapi. Termasuk
risiko itu sendiri. Lulus dari SMAN 9 Bandung, Dudung mendaftarkan diri menjadi
taruna Akmil. Ia langsung lulus tanpa bantuan siapa pun.
"Siapa yang mau membantu saya? Tidak kenal siapa pun
pejabat militer di Bandung. Modal saya berdoa dan berlatih keras agar bisa
lulus menjadi taruna Akmil."
Ia rajin mengaji di masjid-masjid saat harus istirahat
setelah bekerja. Kerap pula tidur di masjid-masjid. "Allah sayang kepada
saya sebagai anak yatim dan bekerja siang malam untuk membantu Ibu. Dia ibu
yang menyertai saya bekerja dan sekolah. Saya tidak pintar-pintar amat, tapi setidaknya
selalu masuk rangking atas jika sekolah, termasuk di sekolah militer."
Musik Sunda dan pengajian selalu menyertai Dudung di mobil
dinasnya. Ia menyadari bahwa tidak boleh melupakan asal usulnya sebagai orang
Sunda dan beragama Islam. “Komitmen ke-Islaman saya, komimen kebangsaan saya
sebagai anak Indonesia, dan komitmen saya mencintai budaya asal usul saya
jangan diragukan lagi,” kata Dudung. (*)