SANCAnews – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU KPK hasil
revisi, UU 19/2019, tetap berlaku dan konstitusional. Namun tak seluruh hakim
MK sependapat dengan putusan tersebut.
Hakim MK, Wahiduddin Adams, menyatakan UU 19/2019 seharusnya
dibatalkan dan kembali ke UU KPK yang lama, UU 30/2002. Dalam pertimbangan hukumnya,
Hakim Wahiduddin menyinggung sikap Presiden Jokowi yang tak meneken UU 19/2019
padahal telah sepakat bersama DPR merevisi UU KPK.
Diketahui UU KPK hasil revisi disahkan dalam rapat paripurna
DPR pada 17 September 2019. Revisi UU KPK itu berlangsung kilat. Tercatat DPR
dan pemerintah merevisi UU KPK dalam waktu sekitar 14 hari.
UU Nomor 19 Tahun kemudian berlaku sebulan kemudian pada 17
Oktober 2019. Berlakunya UU tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5)
UUD 1945. Sebab Presiden Jokowi tak menandatangani UU tersebut. Berikut bunyi
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945:
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
"Tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai
alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU a quo, sehingga
pengesahan UU a quo didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun
1945," ujar Hakim Wahiduddin di ruang sidang MK pada Selasa (4/5).
Wahiduddin pun heran dengan sikap Jokowi yang tak meneken UU
19/2019. Sebab di sisi lain, Jokowi dalam waktu relatif cepat menetapkan
berbagai peraturan pelaksanaan UU 19/2019.
"Hal ini sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks
beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak dalam bentuk tanda tangan
Presiden. Di mana pada umumnya Presiden masih memerlukan waktu yang tidak
secara segera menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari suatu UU yang
tidak ditandatanganinya," kata Wahiduddin.
Merujuk fakta tersebut, Wahiduddin meyakini bahwa UU KPK
hasil revisi tidak sempurna, memiliki kekurangan, serta menimbulkan kecurigaan.
Hal itu sesuai pendapat ahli presiden yang diajukan di sidang MK, Maruarar
Siahaan.
"Dengan tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan
mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU a quo ini,
namun pada sisi lain begitu cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan,
menyebabkan terjadinya absurditas praktik ketatanegaraan dan semakin terpeliharanya
praktik pembentukan UU yang tidak didasarkan pada budaya yang membiasakan
adanya justifikasi (culture of justification)" tutupnya. (glc)