SANCAnews – Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Febri Diansyah angkat bicara soal kabar tak lolosnya sejumlah pegawai di
di lembaga antirasuah itu dalam tes wawasan kebangsaan untuk pengangkatan
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Febri yang kini aktif sebagai pegiat antikorupsi itu menyebut
sejumlah pegawai KPK yang pernah menjadi koleganya itu mestinya tak lagi
dipertanyakan terkait wawasan kebangsaan yang mereka miliki.
Alih-alih itu, para koruptorlah kata dia yang nyata-nyata tak
memiliki wawasan kebangsaan karena mengeksploitasi negara dengan tindakannya.
"Yang tidak berwawasan kebangsaan itu ya koruptor, bukan
pemburu koruptor," kata Febri dalam cuitan di akun twitter resmi miliknya,
Rabu (5/5).
Febri--yang juga pernah berjibaku bersama Indonesia
Corruption Watch (ICW) sebelum menjadi pegawai KPK-- menyatakan para koruptor
justru telah banyak merugikan rakyat dengan mengeksploitasi dan mencuri hak-hak
rakyat. Justru kata dia, para pegawai ini lah yang telah berjuang untuk
melakukan perlawanan terhadap koruptor.
"Negeri ini dieksploitasi. Dihisap. Hak rakyat dicuri.
Wawasan kebangsaan seperti apa yang dimiliki koruptor?" kata dia yang
resmi mundur dari KPK pada September 2020 silam.
Sebaliknya, para pegawai yang telah berjuang melawan koruptor
sejak lama justru disingkirkan melakui tes dengan dalih wawasan kebangsaan.
"Mereka yang teguh melawan korupsi justru disingkirkan
dengan alasan tidak lulus tes wawasan kebangsaan? Logika," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Febri juga menyinggung terkait
upaya-upaya yang dicurigai berupaya menyingkirkan pegawai KPK yang bersih dan kini
sedang berjuang membongkar skandal korupsi adalah upaya pembusukan
pemberantasan korupsi. Tentu kata dia hal ini juga merupakan buah dari
disahkannya UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Tak hanya itu, dia juga menyinggung sejumlah kasus besar yang
saat ini tengah ditangani oleh para penyidik yang terancam dipecat karena tak
lolos asesmen tes wawasan kebangsaan. Kasus ini adalah dugaan suap bantuan
sosial (bansos) Covid-19, suap izin ekspor benur atau benih lobster di
Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kasus dugaan korupsi di
Tanjungbalai.
Bukan hanya itu, dia menyebut penyidik yang terancam dipecat
ini juga pernah berhasil menangkap Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus
megakorupsi e-KTP. Hanya saja, bukan mendapat apresiasi, mereka justru diserang
dengan stempel Taliban dan radikal.
"Lebih konyol lagi, mereka distempel Taliban dan
Radikal. Narasi yang juga digunakan untuk menyerang lawan-lawan politik dan
melegitimasi proses Revisi UU KPK. Oleh orang-orang dan robot yang sama,"
katanya.
Kabar
pemecatan puluhan pegawai ini telah memicu reaksi dari pegiat antikorupsi,
termasuk dari sejumlah mantan komisioner yang menggawangi KPK sebelumnya.
Tak sedikit
pihak yang menilai kabar pemecatan pegawai KPK kali ini merupakan bukti dari
upaya pelemahan KPK yang telah direncanakan jauh hari, imbas dari revisi UU
KPK.
Sementara
itu, Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menepis tudingan dirinya bersikeras
memecat pegawai KPK yang tidak lolos wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat
alih status Aparatur Sipil Negara (ASN).
Firli
menegaskan pimpinan lembaga antirasuah selalu berpegang teguh pada prinsip
kolektif kolegial dalam mengeluarkan keputusan.
"Pimpinan
KPK adalah kolektif kolegial, sifat kepemimpinan KPK adalah kolektif kolegial.
Maknanya, semua keputusan diambil secara bulat dan tanggung jawab bersama oleh
semua pimpinan KPK," ujar Firli kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan
tertulis, Selasa (4/5). []