Oleh: M. Rizal Fadillah
SEPERTI terkejut akan pengaruh dan kemampuan Ustad Adi
Hidayat yang dapat menghimpun dana Rp 30 miliar dalam 6 hari, maka
dicari-carilah kesalahan.
Buzzer Istana Eko Kuntadhi (EK) dalam cuitannya memfitnah
Ustad Adi Hidayat (UAH) bahwa seolah ia telah menggelapkan dana sumbangan
Palestina tersebut karena menyebut donasi Rp 60 miliar hanya diserahkan kepada
MUI sebesar Rp 14 miliar.
UAH siap menjelaskan secara transparan semua donasi yang
dihimpun serta alokasinya. Semua pihak siap untuk dihadapi termasuk auditor.
UAH menyatakan tak ada sedikitpun yang dipakai atau digelapkan.
OJK dan PPATK adalah mitra kerjasamanya. Pertanggungjawaban
bukan hanya kepada manusia tetapi kepada Allah SWT. Bahkan secara tegas UAH
menyatakan bahwa siapapun yang memfitnah ia akan bawa ke ranah hukum.
EK ditantang pula oleh penulis Fahd Pahdepie agar melakukan
klarifikasi atas ujaran yang berbau fitnah tersebut. Namun hingga kini EK tidak
mengklarifikasi selain menyatakan bahwa cuitannya itu bertujuan positif.
Perlu didukung ketegasan UAH terhadap cuitan berbau fitnah
buzzer Eko Kuntadhi. Ada tiga hal yang mendasari dukungan tersebut, yaitu :
Pertama, sebagai negara hukum maka proses hukum adalah
pembuktian apakah ungkapan EK bahwa cuitan yang menurutnya "bertujuan
positif" itu benar atau dibenarkan secara hukum? Atau sebaliknya, hal itu
adalah wujud dari suatu kejahatan berupa delik pencemaran atau fitnah.
Kedua, EK yang dipandang sebagai buzzer istana harus
dibuktikan bahwa ia tidak kebal hukum. Rekan-rekan lain EK seperti Abu Janda,
Deny Siregar, ataupun Ade Armando sering dilaporkan oleh aktivis Islam kepada
Polisi namun kasusnya selalu saja "mental" tidak berlanjut. Perjuagan
UAH diharapkan mampu membobol tembok.
Ketiga, demi pembersihan dan nama baik UAH sendiri. Jika
tidak tegas atau mendiamkan fitnah ini, maka orang bisa saja menganggap tuduhan
EK itu benar dan hal ini akan berpengaruh kepada kepercayaan publik kepada UAH
ke depannya. Sinar UAH tidak boleh redup oleh permainan kotor para buzzer.
Andai EK meminta maaf atas kesalahannya, maka UAH dapat
menempatkan diri sebagai muslim yang secara pribadi selalu mudah memaafkan.
Sedangkan sebagai warga negara yang patuh hukum agar tetap meminta penyelesaian
secara hukum. Permintaan maaf tidak menghapus pidana.
Tetap saja UAH melaporkan ke Kepolisian agar ada efek jera
sekaligus "warning" bagi para buzzer lain yang angkuh dan merasa
dirinya kebal hukum.
UAH diharapkan dapat berperan bukan saja sebagai da'i tenar yang selalu ditunggu pencerahannya, tetapi juga menjadi mujahid penerobos tembok tebal kekuasaan yang selalu melindungi oknum-oknum pemfitnah, penghasut, dan pengganggu perasaan ummat.
Semoga saja.
(Pemerhati politik dan keagamaan)