SANCAnews – Selama pandemi COVID-19, sejumlah pengusaha di
Bali melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh. Buruh pun
menyayangkan hal tersebut, terlebih surat PHK tidak disampaikan secara
langsung, melainkan lewat kantor pos.
"Ada (buruh) yang tidak menyetujui (PHK) itu, dikirimkan
(surat) melalui pos," kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM)
Regional Bali Anak Agung Gede Eka Putra Yasa usai aksi May Day di DPRD Bali,
Sabtu (1/5/2021).
Eka menilai, tindakan yang dilakukan pengusaha ini tidak
tepat. Seharusnya buruh diajak bertemu untuk mencari solusi yang terbaik di
tengah pandemi. Bukan malah melakukan PHK buruh secara sepihak.
PHK via pos yakni Gusti Ngurah Adi Saputra. Ia menerima surat
yang dikirimkan oleh perusahaannya pada Oktober 2020.
"Surat PHK diberikan kepada saya secara tiba-tiba
melalui (Kantor) Pos pada bulan Oktober 2020, sampai saat ini tidak dapat
pesangon, saya menolak PHK, ini masih sepihak," jelasnya.
Pria berusia 34 tahun itu kehilangan pekerjaannya di salah
satu hotel di kawasan Seminyak, Bali. Padahal ia telah bekerja di hotel
tersebut lebih dari 10 tahun.
Di tengah situasi yang sulit itu, Ngurah mengaku memilih
bertahan dengan cara menjalankan bisnis usaha demi bisa menyambung hidup istri
dan satu anaknya.
"Saya berjualan daging ayam, tapi akhirnya bangkrut,
tapi kemudian saya kembali berjualan olahan bumbu Bali larinya ke bubur dan
tipat. Sampai sekarang masih jalan, penghasilan tidak nentu, tapi rata-rata
bisalah Rp 150 (ribu) sehari," jelasnya.
Untuk diketahui, sejumlah buruh di Bali yang tergabung dalam
FSPM Regional Bali memperingati May Day pada 1 Mei kali ini dengan menggeruduk
Kantor DPRD Provinsi Bali. Mereka menyampaikan aspirasi agar ribuan buruh yang
mengalami PHK bisa dipekerjakan kembali.
Peringati Hari Buruh atau May Day 2021, buruh di Bali geruduk
kantor DPRD Bali untuk menyampaikan aspirasi (Sui Suadnyana/detikcom)Peringati
Hari Buruh atau May Day 2021, buruh di Bali geruduk kantor DPRD Bali untuk
menyampaikan aspirasi (Sui Suadnyana/detikcom)
Buruh-DPRD Sepakat Tutup Usaha yang PHK Karyawan
PHK sepihak yang dilakukan ini disebut tidak sesuai dengan
Surat Edaran Gubernur Bali nomor 4195 tahun 2020 tentang Perlindungan
Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Terdampak COVID-19.
Terkait hal itu, DPRD Bali bersama para buruh sepakat untuk
menutup usaha yang tetap melakukan PHK. DPRD nantinya bakal merekomendasikan
kepada Gubernur Bali untuk melakukan penutupan.
"Kita panggil dulu pengusaha-pengusaha yang bandel itu,
panggil pertama, kedua (dan) ketiga. Ketika ketiga (kalinya) tidak ada tindak
lanjut, ya kita rekomendasikan Komisi IV (DPRD Bali) untuk merekomendasikan
kepada Gubernur untuk menutup usaha itu," kata Wakil Ketua DPRD Bali I
Nyoman Suyasa usai menerima aspirasi buruh.
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan sebelumnya DPRD Bali
melalui Komisi IV telah melakukan pemanggilan tahap pertama terhadap para
pengusaha tersebut. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari mereka
untuk kembali memperkerjakan para buruh yang di-PHK.
Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Gusti Putu Budiarta, mengatakan
dalam SE Gubernur Bali sangat jelas ditegaskan bahwa pengusaha di Bali tidak
boleh melakukan PHK di tengah pandemi COVID-19. Menurutnya, pengusaha bisa
mengambil jalan lain seperti merumahkan sementara dan sebagainya.
"Kita menginginkan jangan ada sampai pihak usaha
mem-PHK. Sesuai SE Gubernur sudah jelas harus menjaga hubungan industrial
dengan pengusaha dan pekerja. Kalau sampai terjadi PHK mestinya dibicarakan
baik-baik kedua belah pihak. Kalau memang situasi pandemi sebaiknya dirumahkan
dululah, jangan diputus hubungan kerja mereka," kata Budiarta.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali
Anak Agung Gede Eka Putra Yasa menilai, usulan penutupan dilakukan atas efek
dari bagaimana oknum-oknum pengusaha memperlakukan pekerjanya. Menurutnya,
pekerja dalam sebuah perusahaan sebagai aset sehingga tidak layak untuk dibuang
begitu saja.
"Jadi pekerja itu kan aset dalam perusahaan, bukan asal
nilai angka yang apabila melebihi kapasitas dibuang. Kalau misalnya diperlukan
ditarik kembali. Di mana-mana pekerja adalah aset dan perusahaan harus
melindungi juga. Sangat disayangkan jika di-PHK sepihak seperti ini," kata
dia.
Dalam aksi Hari Buruh juga terungkap bahwa sejumlah pengusaha
telah mendapatkan dana hibah pariwisata. Dana itu diberikan salah satunya agar
pengusaha tidak melakukan PHK. Akan tetapi sejumlah pengusaha masih tetap
melakukan PHK terhadap karyawannya.
Hotel berinisial WSB misalnya disebut mendapatkan dana hibah
pariwisata hingga Rp 11 miliar. Kemudian Hotel SND juga mendapat dana hibah
kurang lebih sebanyak Rp 8 miliar. Akan tetapi dua hotel ini tidak mencabut PHK
terhadap karyawan. Padahal, dana hibah pariwisata tersebut diberikan salah
satunya agar pengusaha tidak melakukan PHK terhadap buruh.
"Itu kita pertanyakan lagi, dana itu kemana. PHK jalan
terus, biar dah nanti diteruskan oleh pihak terkait bahwa sudah ada dana
seharusnya bisa mempekerjakan kembali pekerjanya atau dirumahkan sampai
menunggu pariwisata normal," kata Eka.