SANCAnews – Teriakan ”Allahu Akbar!” memenuhi ruang rapat DPRD Lampung Utara (Lampura). Hal ini sebagai respons atas persetujuan para legislator Lampura untuk meneruskan tuntutan massa ke presiden secara resmi, Kamis (29/4/2021).
Salah satu poin penting adalah membebaskan Habib Rizieq
Shihab (HRS) dan mantan sekretaris umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman.
Massa mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Lampung Utara
(Lampura) Anti Terorisme dan Anti Kezaliman.
Beberapa anggota DPRD Lampura yang dipimpin ketua dewan Romli
kemudian menerima perwakilan massa di ruang rapat.
Dia berjanji merespons tuntutan massa dengan cara membuat
surat resmi untuk disampaikan ke Presiden Jokowi.
"Pernyataan dan bersurat kami ke presiden ini merupakan
proses mengadu antara rakyat dan pimpinannya. Karenanya, ini bukan merupakan
kesalahan," ujarnya diamini Wakil Ketua DPRD, Dedi Sumirat.
Romli mengkritisi penangkapan aktivis dan praktisi hukum,
Munarman, dengan tuduhan teroris oleh Densus 88.
"Polisi harus bisa membuktian kesalahan Munarman. Jika
tidak terbukti, dia harus dibebaskan," ujar Romli yang juga aktivis '98
disambut teriakan takbir dari massa.
Turut hadir dalam ikrar pernyataan tersebut anggota fraksi
Partai Demokrat, NasDem, dan PKS.
"Kita akan kawal surat yang akan disampaikan ke
presiden," ujar M Nuzul Setiawan, dari fraksi Demokrat.
Audiensi yang dihadiri perwakilan aparat keamanan dari Polres
dan Kodim Lampura ini dilaksanakan dengan protokol kesehatan (prokes). Salah
satunya membatasi jumlah peserta yang hadir dalam audiensi.
Ustaz Joko sebagai perwakilan dari para ustaz di Lampura
mengaku teringat dengan filosofi Jawa yaitu ngalah, ngalih, dan ngamuk.
Menurut dia, umat Islam Indonesia sudah banyak mengalah dan juga ngalih, ”Jangan sampai umat Islam Indonesia masuk fase ketiga yaitu ngamuk, khawatir nantinya Indonesia akan menjadi Suriah kedua,” ingatnya.
Habib Mukhsin, perwakilan dari para habaib sekaligus pengasuh
pondok pesantren di Lampura, meminta para santri untuk merangkul seluruh umat
Islam.
Menurutnya, para santri dan lingkungan ponpes saat ini sangat
khawatir kalau nantinya komunis berkuasa di Indonesia. Karena jika hal itu
sampai terjadi maka mereka lah yang jadi korban.
Salah satu perwakilan mahasiswa dan HMI menilai saat ini
jelas terjadi kezaliman terhadap HRS dkk yang sekarang dipenjara.
Sementara di sisi lain, ada pernikahan seorang artis yang
malah dihadiri oleh presiden dan pejabat negara lainnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kotabumi, Suwardi,
sebagai perwakilan dari kalangan universitas di Lampura kemudian membacakan
pernyataan sikap massa.
1. Fakta-fakta terjadinya diskriminasi hukum yang dialami
oleh HRS, ulama, serta para tokoh oposisi lainnya --yang notabene mereka semua
termasuk putra-putra terbaik bangsa ini.
Maka kami menyerukan kepada majelis hakim dan pihak lainnya
yang berwenang untuk segera membebaskan semua tersangka/korban diskriminasi
tanpa syarat.
2. Usut tuntas pelaku serta aktor intelektual pelanggaran HAM
berat terkait terbunuhnya enam pemuda-pemuda bangsa yang aktif dalam ormas
keagamaan dan sosial.
Serta mengungkap aktor kejadian yang terindikasi berada dalam
mobil Land Cruiser warna hitam berdasarkan keterangan media Tempo tanggal 12
Desember 2020.
3. Upaya penggiringan opini tentang terorisme yang
seakan-akan disematkan pada agama dan umat Islam harus segera dihentikan. Yaitu
dengan dilakukan pembahasan terkait definisi terorisme itu sendiri.
Selain itu, mendesak pemerintah, DPR, dan MPR RI untuk
menyatakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan sekadar Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB). Melainkan organisasi terorisme.
4. Hentikan segala bentuk fitnah dan kezaliman dengan cara
DPR dan pemerintah harus segera menertibkan informasi hoaks dan menjadi pelopor
gerakan anti hoaks dalam bentuk apapun. Serta, menekan pihak media jika
melakukan manipulasi informasi.
5. Perkembangan penggunaan media sosial saat ini mengarah
pada penistaan agama (terutama agama Islam yang dijadikan sasaran target kaum
sekuler dan liberal serta kelompok Islamphobia).
Maka, kami mendesak pihak DPRD Lampura agar proaktif meminta
ketegasan aparat kepolisian dan kejaksaan untuk segera menuntaskan kasus-kasus
penistaan agama dan tidak membuat perkara hukum tersebut berhenti.
Kasus ini seperti pada Ade Armando, Deny Siregar, Victor
Laiskodat, Permadi Arya (Abu Janda), dan Joseph Paul Zhang.
6. Menolak Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 April
2021 --yang menghilangkan Pendidikan Pancasila dan bahasa Indonesia dalam mata
kuliah wajib di Perguruan Tinggi.
Karenanya anggota DPRD seluruh Indonesia dan DPR RI, untuk
mengingatkan Presiden RI agar mengembalikan kurikulum tersebut sesuai dengan peraturan
perundangan yang sudah ada.
Ini demi tercipta dan terpeliharanya rasa nasionalisme bagi
generasi penerus bangsa, yang berketuhanan, berprikemanusiaan, memiliki rasa
persatuan, berjiwa bijak dan berkeadilan sosial. (*)