SANCAnews – Dalam konteks hukum politik, kebebasan
berpendapat di media sosial pada era rezim Presiden Joko Widodo sekarang ini
hanya dimiliki oleh buzzer pemerintah, tapi untuk masyarakat dibungkam lewat
peraturan perundang-undangan.
Begitulah yang diungkapkan pengamat politik dari Universitas
Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL,
Sabtu (3/4).
"Jadi buzzer-buzzer punya peran besar dalam menjaga dan
melindungi bos-bosnya. Dan juga untuk mengcounter berita-berita dari lawan politiknya,"
ujar Ujang Komarudin.
Pada faktanya, Direkrur Eksekutif Indonesia Political Review
(IPR) ini melihat perlakuan tidak adil aparat pemerintah dalam hal penegakan
hukum.
Sebagai contoh, Ujang Komarudin menyinggung soal kasus hukum
Syahganda Nainggolan yang baru saja dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) di sidang PN Depok, Kamis (1/4), karena dinilai menyebarkan
kabar bohong atau hoax yang menyebabkan keonaran terkait aksi unjuk rasa
menolak RUU omnibus law Cipta Kerja.
"Itulah faktanya. Pihak yang mengkritik bisa dikerjai
dan dikriminalisasi. Di saat yang sama, mereka-mereka yang kritis di medos
diberangus dengan UU," ucapnya.
Maka dari itu, Ujang memandang wajah hukum Indonesia sekarang
ini masih jauh dari rasa keadilan. Karena, hukum masih bisa dimanfaatkan oleh
orang-orang yang punya kekuasaan dan jabatan, dan memihak pada mereka yang ada
di lingkaran istana.
"Mereka yang beroposisi dikerjai, sedang mereka yang
dilingkaran istana dilindungi. Tapi kita tetap harus optimis, semoga kedepan
wajaj hukum kita tak bopeng dan berpihak pada keadilan dan kebenaran,"
demikian Ujang Komarudin menambahkan. []