SANCAnews – Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) menilai
temuan atribut Front Pembela Islam (FPI) saat anggota Detasemen Khusus 88 Anti
Teror Polri saat penggerebekan terduga teroris di Condet, Jakarta Timur adalah
operasi intelejen.
Begitu disampaikan salah satu tokoh TP3 Abdullah Hehamahua
kepada wartawan seusai beraudiensi dengan Fraksi PKS DPR RI, di Komplek
Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/3).
Abdullah bahkan menyebut temuan atribut FPI di kediaman
terduga teroris di Condet Jakarta Timur, pasca insiden bom di depan Gereja
Katedral Makassar pada Minggu (28/3) hanyalah upaya rekayasa untuk mengalihkan
perhatian terhadap kematian 6 Laskar FPI.
"Semua itu adalah operasi intelejen untuk mengalihkan
perhatian terhadap TP3, mengalihkan perhatian terhadap HRS (Habib Rizieq
Shihab), maka ada bom. Coba anda perhatikan bom pagi, siang ditangkap. 6 orang
dibunuh (Laskar FPI) sudah berapa bulan tidak tahu siapa pembunuhnya. Itu bukti
operasi intelejen," tegasnya.
Abdullah mengklaim pihaknya sudah mafhum cara-cara intelejen
beroperasi sejak zaman orde baru (Orba) dahulu. Menurutnya, hal-hal mengenai
operasi intelejen itu secara gamblang telah diulas dalam sebuah buku karya Dr
Busyro Muqoddas.
"Kita sudah tau itu lah dari zaman masih orba sampai
sekarang. Kalau anda mau yakin baca disertasi Dr Busyro Muqoddas tentang
Operasi Intelejen," kata Abdullah.
Senada, tokoh TP3 yang lain, Marwan Batubara menyatakan tidak
akan mengambil pusing soal temuan atribut FPI di kediaman terduga teroris di
Condet, Jakarta Timur.
"Saya kira kita tidak terlalu ambil pusing dengan itu,
karena kita tahu itu bagian dari rekayasa," timpalnya.
Marwan memilih fokus pada upaya penuntasan kasus pelanggaran
HAM berat dalam hal ini tewasnya 6 Laskar FPI di KM 50 Tol Cikampek.
"Yang penting yang sangat mendesak adalah bahwa kita
ingin menyatakan ini kepada Presiden, Pemerintah, DPR ini adalah pelanggaran
HAM berat. Karena itu prosesnya harus mengikuti UU 26/2000 bukan seperti yang
sudah dilakukan oleh Komnas HAM yang kami yakin ini juga adalah konspirasi
dengan penguasa," tuturnya.
"Sehingga yang dihasilkan itu adalah sebetulnya hasil
pemantauan, tapi diakui sebagai hasil penyelidikan karena pada dasarnya itu
didasarkan pada UU Nomor 39/1999 yang itu tidak relevan untuk kasus ini. Karena
yang terjadi adalah kejahatan sistemik yang masuk kategori pelanggaran HAM
berat," demikian Marwan. (glc)