SANCAnews – Kasus tewasnya enam laskar FPI di Tol
Jakarta-Cikampek KM 50 Karawang, Jawa Barat hingga saat ini belum jelas penuntasannya
meskipun Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi bahwa ada tindakan
pelanggaran HAM.
Untuk itu, Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) mengundang
5 personel polisi, termasuk Kapolda Metro Jaya untuk melakukan sumpah muhabalah
bersama pihak keluarga korban.
"Jadi polisi merasa paling benar, yang kemudian keluarga
korban merasa paling benar, menurut sistem Islam maka mubahalah," kata
anggota TP3 Abdullah Hehamahua, Rabu (3/3).
"Kita bukan menantang tapi mengundang Polda, Humas
Polda, dan beberapa perwira yang dianggap terlibat dalam peristiwa Desember itu
di KM 50 untuk melakukan mubahalah," sambung Abdullah.
Ia mengatakan, nama-nama yang diundang adalah Kapolda Metro
Jaya Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, serta
3 personel kepolisian yang terlibat peristiwa penembakan itu.
Abdullah menyebut, ada dua alasan mengapa pihaknya
menyarankan sumpah muhabalah. Pertama, pihaknya meminta penetapan kasus ini
sebagai pelanggaran HAM berat.
"Kita sudah ajukan surat ke Presiden untuk menyampaikan
data-data temuan di lapangan. Tapi dijawab bahwa itu sudah ditangani oleh
Komnas HAM. Hasil rekomendasi Komnas HAM yang pertama bahwa ini bukan
pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM biasa. Sedangkan temuan teman-teman di
lapangan itu adalah pelanggaran HAM berat," papar Abdullah.
Kedua, menurut TP3, pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM sudah
terlalu lama berjalan dan tak ada kejelasan.
"Yang kedua, dari Komnas HAM itu rekomendasinya supaya
ditangani oleh pihak terkait, ini sudah cukup lama," tambah Abdullah.
Lalu, berdasarkan wawancara dengan keluarga korban, TP3
menyebut tak masuk akal bahwa anggota laskar terlarang FPI memiliki senjata api
saat kejadian di KM 50 itu.
"Temuan yang disampaikan dari pihak kepolisian dan
Komnas HAM bahwa 6 orang anggota FPI yang di Km 50 membawa pistol. Saya dengan
teman-teman mewawancarai langsung mendatangi rumah keluarga 6 korban itu dan
itu kami menyaksikan rumah mereka, kondisi mereka dan data-data yang keluar di
semua itu, penghasilan mereka setiap bulan apa, itu tidak logis mereka punya
senjata," tegas Abdullah.
Menurut Abdullah, Presiden Jokowi melalui Menko Polhukam
Mahfud telah meminta penanganan kasus secara cepat. Namun, sampai hari ini
belum jelas siapa pelaku penembakan.
"Presiden atas dasar rekomendasi Komnas HAM melalui
Menko Polhukam supaya ditangani secepatnya, transparan, tapi sampai hari ini
tidak ada informasi, siapa yang bertanggung jawab, dianggap sebagai terduga
melakukan pembunuhan itu tidak ada," ujar Abdullah.