SANCAnews – Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional
(Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte menilai penghapusan status DPO
atas nama Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari sistem Enhanced Cekal
System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal
Imigrasi merupakan tanggung jawab Menkumham Yasonna H. Laoly.
"Bahwa penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dalam
sistem ECS adalah kewenangan Menteri, Hukum dan HAM RI [Yasonna H. Laoly] atau
Dirjen Imigrasi [Jhoni Ginting] sehingga bukan tanggung jawab Terdakwa karena
memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu," kata Napoleon saat
membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin
(22/2).
Berdasarkan hal tersebut, Napoleon meminta majelis hakim
membebaskan dirinya dari seluruh dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(JPU).
"Tanggung jawab itu tidak bisa dilimpahkan kepada Divhubinter
atau NCB [National Central Bureau] Interpol Indonesia berdasarkan tiga surat
NCB Interpol Indonesia tersebut," imbuhnya.
Dalam surat dakwaan, Napoleon disebut memerintahkan
penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI, yaitu
surat nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor:
B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, dan surat nomor 8
1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.
Dengan surat-surat tersebut, pada tanggal 13 Mei 2020 pihak
Imigrasi melakukan penghapusan status DPO a.n. Joko Soegiarto Tjandra. Yasonna
sempat merespons saat buronan Djoko Tjandra terendus sudah berada di Indonesia.
Ia menyebut ada dua kemungkinan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) itu berada di
Indonesia.
Dua opsi itu yakni lewat jalur tikus atau menggunakan
identitas palsu. Yasonna mengatakan hal itu mungkin saja dilakukan sebab Ditjen
Imigrasi Kemenkumham tidak mencatat kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia lewat
bandara atau pelabuhan resmi.
"Melihat peristiwa sebelumnya Harun Masiku, saya
langsung perintahkan untuk cek langsung, cek di server kita dan sekarang saya
sudah minta melihat CCTV yang ada di perlintasan kita," kata Yasonna pada
2 Juli 2020 lalu.
Sementara terkait perkara yang tengah diadili ini, Napoleon
dituntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta
subsidair enam bulan kurungan.
Jaksa menilai Napoleon terbukti secara sah dan menurut hukum
menerima suap sebesar Sin$200 ribu atau sekitar Rp2.145.743.167 dan US$370 ribu
atau sekitar Rp5.148.180.000 dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank
Bali, Djoko Tjandra.
Suap total sekitar Rp7 miliar itu dimaksudkan agar Napoleon
menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi
Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah
Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran
berstatus buronan.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan
Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara terkait
kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. []