Jakarta, SN – Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pernyataan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik
pemerintah, sementara situasi menunjukkan kebebasan sipil terancam dengan
maraknya kasus pelaporan hingga penangkapan aktivis.
"Ironis. Pernyataan tersebut justru menunjukkan presiden
tidak memperhatikan situasi dan kondisi penyusutan kebebasan sipil yang
ditunjukkan dengan serangkaian pelaporan (sampai dengan penangkapan) kepada
individu yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan
diskursus negara," ujar Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar saat dihubungi
Tempo, Rabu, 10 Februari 2021.
Mereka yang mengkritik pemerintah, lanjut Rivan, terancam
berujung pada kasus hukum dengan dalih melanggar Undang-undang No. 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Jikalau benar Presiden menginginkan kritik, beri dan
jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini. Ia bisa memulainya
dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan
kebebasan sipil, baik karena surat telegram Kapolri maupun UU ITE," ujar
Rivan.
Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10
peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi.
"Lalu 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, dan 4
peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses
dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE," ujar Rivan.
Jurnalis Dandi Dwi Laksono, misalnya, salah satu yang pernah ditangkap
dengan jeratan pasal pidana dari UU ITE terkait cuitan tentang Papua di Twitter
pada 2019 silam. Jeratan UU ITE juga sempat dialami aktivis Ravio Patra dengan
tuduhan mengajak orang lain melakukan penjarahan nasional pada 30 April. Saat
itu, buruh dan mahasiswa berencana demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja pada 30
April. Demonstrasi batal usai kejadian itu.
Berbagai ancaman terhadap kebebasan berpendapat yang
membayangi, juga menimbulkan kekhawatiran ekonom Kwik Kian Gie. Kwik bahkan
membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru. Pada rezim yang terkenal
otoriter itu, ia mengaku masih bisa leluasa menyampaikan kritik via media
massa. Namun saat ini, ia takut melakukan hal itu.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan
pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja
di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil," ucap Kwik di akun
Twitter @kiangiekwik.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif
mengkritik pemerintah sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan
publik yang lebih baik. "Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik
masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik
juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," kata
Jokowi, Senin lalu.
Sehari setelah pernyataan Jokowi itu, Sekretaris Kabinet,
Pramono Anung mengatakan bahwa kritik, saran, dan masukan itu seperti jamu yang
menguatkan pemerintah. "Kami memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang
pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun
lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono dalam rangka peringatan Hari Pers
Nasional, kemarin. []