SANCAnews – Presiden Joko Widodo mengusulkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) direvisi.
Jokowi punya alasan revisi UU ITE tersebut jika dinilai sudah tak memberikan
keadilan.
Terkait itu, aktivis HAM, Haris Azhar menyoroti keinginan
Jokowi tersebut. Dia menyindir keinginan pemerintah yang disuarakan kepala
negara sebagai momentum penting.
"Saya mau men-capture persoalan ini dari momentum
politik dari orang nomor satu di republik ini. Saya mau nangkap dulu momentum
ini. Kenapa? Momentum ini harus dipelihara, dan dijaga sebagai sebuah keinsafan
penguasa terhadap apa yang mereka lakukan yang secara sengaja maupun tidak
sengaja," kata Haris dalam Kabar Petang tvOne yang dikutip VIVA, Rabu, 17
Februari 2021.
Dia menyampaikan demikian karena Jokowi dinilainya tak
mengetahui setiap kasus UU ITE yang terjadi. “Maksudnya begini, presiden tahu
nggak, kalau ada polres di mana melakukan pidana sampai pengadilan. Kan
presiden nggak tahu," ujar Haris.
Haris mengingatkan lagi momentum usulan revisi UU ITE ini
mesti ditangkap. Kata dia, sebagai respons, pemerintah harus memiliki tindakan
yang simultan.
"Satu, tindakan politik yang simultan, yang sifatnya
memulihkan. Kedua, secara simultan harus dilakukan tindakan yang akademis apa
namanya terhadap legislasi," ujar Haris.
Menurut dia, dalam revisi UU ITE tentu harus dimulai dengan
menyusun naskah akademik sebelum dilempar ke DPR untuk dibahas. Namun, dalam
penyusunan naskah akademik ini, ia berharap tindakan simultan itu juga dibahas.
"Naskah akademik dulu disusun kerangka-kerangkanya untuk
menemukan masalahnya. Nanti naskah akademik itu saat dipinjam atau diintip oleh
tim yang memulihkan itu untuk menyusun batasan-batasan tersebut digunakan
dengan kata amnesti atau dikurangi atau dihentikan pengurangannya,"
jelasnya.
Kemudian, ia mencontohkan dalam simultan ini jika ada suatu
kasus terkait UU ITE belum sampai tahap pengadilan maka ada tindakan yang
disesuaikan bersifat meringankan terhadap tersangka. Pun, bila kasus sudah di
kejaksaan atau kepolisian juga ada tindakan terkait seperti penghentian
perkara.
"Kalau sudah ada di kejaksaan atau kepolisian itu mereka
bisa dilakukan tindakan restorative justice atau penghentian perkara, dan
lain-lain," ujar Haris.
"Kalau sudah di pengadilan, harus ada upaya pembelaan
yang juga disadari dan didukung oleh negara yang tidak melanggar hukum,
tentunya bukan intervensi," lanjutnya.
Dia bilang dalam usulan revisi UU ITE mesti disorot urusan
teknis hukum acaranya. Sebab, banyak kasus-kasus yang mesti dengan naskah
akademik untuk dipelajari kekurangannya.
"Dalam kasus-kasus tersebut, banyak barang buktinya yang
tidak tepat, kasusnya tidak tepat, motif pemidanaannya tidak tepat, juga
politis dan kontroversial," ujar Haris. []