SANCAnews – Kasus dugaan penyimpangan anggaran puluhan miliar
rupiah yang digunakan untuk pengadaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer)
terus ditelusuri. Kini kasus penyelewengan dana Rp 49 miliar tersebut memasuki
babak baru.
Penelusuran itu bermula dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI terkait indikasi penyimpangan penggunaan anggaran penanganan COVID-19
yang jumlahnya mencapai Rp 150 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 49 miliar
digunakan untuk pengadaan hand sanitizer.
Menindaklanjuti temuan itu, DPRD Sumbar pun membentuk panitia
khusus (pansus) COVID-19 pada 17 Februari 2021. Pansus COVID-19 juga telah
melakukan pertemuan dengan Satgas Penanganan COVID-19 di Jakarta untuk
melaporkan dugaan penyimpangan anggaran tersebut.
Pansus COVID-19 pun memberikan beberapa rekomendasi kepada
DPRD Sumbar. Mulai dari meminta BPK mengelar audit investigasi hingga
penindakan tegas kepala BPBD SUmbar.
Minta BPK Gelar Audit Investigasi Dana COVID
Pansus COVID-19 memberi rekomendasi kepada DPRD Sumbar agar
meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit investigasi.
"Pansus menduga tidak tertutup kemungkinan hal yang sama
juga terjadi pada paket pekerjaan lainnya di BPBD. Oleh sebab itu, Pansus
merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta BPK RI
untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap paket pekerjaan yang belum sempat
diperiksa oleh BPK RI perwakilan Sumatera Barat," kata Ketua Pansus
COVID-19 DPRD Sumbar, Mesra, kepada wartawan, Jumat (26/2/2021).
Mesra mengungkapkan, dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP)
BPK, disebutkan telah terjadi pemahalan harga pada pengadaan barang, sehingga mengakibatkan
kerugian daerah hampir Rp 4,9 miliar. Pemahalan harga terjadi dalam pengadaan
hand sanitizer sebesar Rp 4,8 miliar, ditambah kekurangan volume pengadaan
logistik kebencanaan, seperti masker, thermo gun, dan hand sanitizer senilai Rp
63 juta.
Selain pemahalan harga, Pansus COVID-19 DPRD Sumbar juga
menyebut adanya pembayaran kepada penyedia jasa yang dilakukan secara tunai.
Akibatnya, sebut Mesra, ada pembayaran sebesar Rp 49,2 miliar yang tidak bisa
diidentifikasi.
"Transaksi pembayaran kepada penyedia barang dan jasa
menurut BPK-Ri tidak sesuai ketentuan. Bendahara dan Kalaksa BPBD melakukan
pembayaran tunai kepada penyedia jasa, sehingga ini melanggar ketentuan. Akibat
transaksi tunai yang itu, terindikasi potensi pembayaran sebesar Rp 49,2 miliar
lebih tidak bisa diidentifikasi," ungkap Mesra.
Tindak Tegas Kepala BPBD Sumbar
Pansus COVID-19 meminta Gubernur Sumbar menindak Kepala Badan
Pelaksana BPBD Sumatera Barat.
"Kami di Pansus sudah bekerja selama sepekan terakhir
dan sudah sampai pada kesimpulan dan mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi
diberikan kepada DPRD untuk diteruskan menjadi keputusan secara
kelembagaan," kata Mesra.
Menurut Mesra, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
Kepatuhan atas Penanganan Pandemi COVID-19 Tahun 2020 pada Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat, BKP-RI menemukan kerugian daerah sebanyak Rp 4,9 miliar, karena
ada mark-up harga pengadaan hand sanitizer. Pansus kemudian menelusuri LHP tersebut
dan masih menemukan adanya Rp 49 miliar anggaran yang tidak bisa
diidentifikasi.
Karena itu, BPK kemudian merekomendasikan kepada Gubernur
Sumatera Barat untuk memberi sanksi kepada Kalaksa BPBD dan pejabat atau staf
lainnya yang terindikasi telah melakukan pelanggaran dalam proses pengadaan
barang dan jasa.
"Namun sampai saat ini Gubernur belum menindaklanjuti
rekomendasi dimaksud, padahal waktu yang diberikan sesuai dengan action plan
yang dibuat oleh Gubernur adalah selama 60 hari," kata Mesra.
"Oleh karena itu, Pansus merekomendasikan kepada DPRD
agar menyurati Gubernur supaya segera memproses pemberian sanksi tersebut dan
segera melaporkannya kepada DPRD, di samping kepada BPK-RI Perwakilan Sumatera
Barat," katanya. (dtk)