Februari 2021


SANCAnews – Sebuah video sekelompok pemuda membaca doa,  mirip doa sehabis sholat, beredar di group-group WhatsApp (WA), Minggu, 28 Februari 2021.

 

Namun yang mengejutkan, doa bersama itu dilakukan dalam sebuah ruangan yang ditengarai sebuah room karaoke.

 

Dalam video terlihat, seseorang pemuda memimpin pembacaan doa layaknya seusai melaksanakan ibadah sholat.

 

Sambil menggunakan mikrofon, pemuda itu begitu fasih melafalkan doa dalam bahasa arab tersebut.

 

Di sekelilingnya, ada enam pria, termasuk perekam video. Salah satu dari keenam pria itu bahkan mengenakan peci hitam.

 

Terlihat juga tiga wanita berpakaian seksi yang diyakini sebagai pemandu lagu/ Lady companion (LC)

 

Saat doa dibacakan, semua yang ada di ruangan besar didominasi warga merah dan oranye serta penuh dengan pernik itu, menengadahkan tangan, layaknya orang memanjatkan doa.

 

Dihadapan mereka ada dua buah meja, diatasnya terdapat puluhan botol minuman keras dan sebuah bolu, mirip molu ulang tahun.

 

Belum diketahui pasti, siapa orang-orang dalam video tersebut. Bahkan sampai saat ini belum ada pihak yang mengklaim soal dimana lokasi video itu diambil.

 

Sampai, Minggu 28 Februari 2021, video baca doa di room karaoke ini telah dibagikan dan beredar pada puluhan group WA.***


 


SANCAnews – Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin menyesalkan adanya aturan pemerintah yang membuka pintu investasi untuk minuman keras (miras).

 

“Sebagai Kaum Muslimin kita menyesali dengan keadaan ini, padahal miras itu sumber utama dari kejahatan,” kata Kiai Didin dikutip Suara Islam Online dari kajian online di Kalam TV, Ahad pagi (28/2/2021).

 

Kiai Didin menjelaskan bahwa miras itu sangat membahayakan. “Dengan miras akan hilang kesadaran dan kalau hilang kesadaran akan melakukan apa saja, gelap mata dan hatinya dan dia akan menghalalkan segala cara,” ujarnya.

 

Di dalam Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 90-91 dijelaskan tentang minuman keras, Allah SWT berfirman:

 

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

 

Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

 

“Jadi Allah memerintahkan untuk menjauhi perbuatan itu, kalau ingin mendapat kebahagiaan. Setan melalui khmar (miras) akan menyebabkan lupa dengan Allah, meninggalkan shalat, bahkan menimbulkan kebencian dan pertentangan,” jelas Kiai Didin.

 

Oleh karena itu, Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) itu mengimbau kepada pemerintah supaya tidak membuka pintu untuk investasi miras karena itu sama dengan ingin menghancurkan bangsa sendiri.

 

Baca juga: Investasi Miras Dibuka, Wantim MUI: Ini Melukai Umat Islam dan Tamparan Keras bagi Ulama

 

“Bangsa yang akan makmur adalah bangsa yang warganya berakhlak baik, menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah. Dan saya yakin, kalau dibuka pintu miras maka kemaksiatan yang lain akan subur, perzinaan dan kemaksiatan lainnya akan dianggap biasa,” kata Kiai Didin.

 

MUI sendiri, kata Kiai Didin, sudah membuat pernyataan yang menyesali adanya kebijakan tentang miras tesebut.

 

Sekarang ini, kita bersama sedang menggerakkan halal food, pariwisata halal, zakat, wakaf dan lainnya.

 

“Harusnya ada kolerasi yang kuat antara perintah agama dan larangan. Jangan disatukan, perintah dilaksanakan larangan juga dikerjakaan,” jelas Kiai Didin.

 

Menurutnya, penolakan ini untuk kemaslahatan bangsa kita yang kita cintai, jangan sampai ada kebijakan yang menyebabkan timbulnya kemaksiatan di negeri kita.

 

Kiai mengingatkan bahwa indikator kemakmuran sebuah bangsa itu ada tiga, pertama beribadah kepada Allah dengan melaksanakan seluruh yang diperintahkan dan menjauhi setiap larangan. Kedua, terpenuhinya kebutuhan pokok, kedaulatan pangan yang kuat. Dan ketiga, adanya ketenagan dalam hidup dengan menjadikan ibadah sebagai yang utama dalam kehidupan kita. []


 


SANCAnews – Perpres soal perizinan investasi minuman keras alias Miras di 4 provinsi menuai pro kontra. Ada masyarakat yang menentang, ada juga sebagian yang mendukung.

 

Misalnya tokoh NU KH Cholil Nafis, pengasuh Ponpes Cendekia Amanah, dan juga pimpinan MUI. Cholil Nafis tegas menyebut haram.

 

Tapi ada juga salah satu suara yang memberi dukungan yakni Pengasuh Pondok Pesantren Kaliwining Jember yang juga Wakil Ketua PP LAZIS NU, Gus Ubaidillah Amin Moch.

 

"Masyarakat tidak perlu menanggapi secara berlebihan tentang kebijakan ini, tinggal mengupayakan bagaimana dalam penerapannya kebijakan ini bisa berjalan tepat sasaran, terlebih hasil dari investasi ini menambah pemasukan bagi negara," jelas kiai lulusan Al Azhar Mesir yang akrab disapa Gus Ubaid ini, Minggu (28/2).

 

Gus Ubaid memberi penjelasan, kata dia, kebijakan seperti ini jauh hari sudah pernah disuarakan oleh Mufti Mesir sekaligus Guru Besar Al-Azhar, Syekh Ali Jum’ah yang pernah memfatwakan bolehnya menjual miras bagi orang muslim di kawasan barat atau di negara-negara yang melegalkan miras, bahkan di restoran-restoran tertentu selama tidak menjualnya pada orang muslim. 

 

Gus Ubaid juga mengutip fatwa Syekh Ali, berikut kutipan fatwa tersebut: 

Dr. Ali Jum’ah, mufti Negara mesir terdahulu pernah memfatwakan bahwa boleh bagi orang muslim untuk menjual dan memindah (ekspor-impor) khamar di negara barat dan negara yang memperbolehkan khamar. Dan boleh pula menawarkan khamar dan makanan minuman sejenisnya yang haram bagi orang muslim di restoran orang muslim tapi dengan syarat tidak menawarkan dan menjualnya pada orang muslim.

 

"Mufti Republik Mesir ini mengisyaratkan bahwa boleh bagi seorang muslim untuk menjual khamar pada non muslim dalam mazhabnya Imam Abu Hanifah pada kondisi-kondisi tertentu," terang dia.

 

Gus Ubaid juga menyampaikan, banyak masyarakat yang termakan berita ini tanpa memperhatikan secara utuh bahwa pembukaan izin usaha miras ini hanya berlaku di kawasan wisata yang mayoritas penduduknya berstatus non-muslim, yakni di provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua.

 

"Sehingga peraturan ini tidak berlaku bagi kawasan provinsi lain yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam," tutur dia.

 

Gus Ubaid menjelaskan, dalam menyikapi persoalan ini ada dua poin yang mesti dilakukan oleh pemerintah. Pertama, Pemerintah harus menjelaskan secara gamblang kepada rakyat tentang detail perpres ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman masyarakat yang justru akan mengurangi nilai kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

 

Kedua, dalam penerapan perpres ini, pemerintah harus melakukan pemantauan secara serius agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti produksi miras melebar ke wilayah selain empat provinsi di atas yang akan mengakibatkan rusaknya tatanan sosial serta kearifan lokal masyarakat setempat, terlebih pada kawasan yang terkenal religius.

 

"Dengan memperhatikan dan melaksanakan secara serius kedua poin di atas maka akan tercipta komunikasi yang baik antara pemerintah dan rakyat," tutur dia. (*)


Maka kebijakan pemerintah dalam hal ini sebenarnya sudah ada padanannya, terlebih dalam kajian fikih klasik Imam Abu Hanifah melegalkan bagi seorang muslim untuk menjual miras pada non muslim.--Gus Ubaid


 


SANCAnews – Ketaatan dalam menjalankan protokol kesehatan merupakan hal penting yang harus dilakukan semua pihak lantaran Indonesia masih berada dalam zona bahaya Covid-19.

 

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher turut mengingatkan agar para tokoh bisa menahan diri dan tidak menjadi pemicu kerumunan.

 

“Bisa jadi prediksi Kemenkes bahwa  kasus  Covid-19 pada akhir 2021 mencapai 1,7 juta akan terlampaui. Dengan kondisi ini, tidak  pantas jika gelaran kegiatan menimbulkan kerumunan, apalagi jika dilakukan oleh pejabat publik,” ucap Netty kepada wartawan, Minggu (28/2).

 

Melawan pandemi Covid-19, kata Netty, harus dengan menghimpun segenap daya, upaya dan energi bangsa Indonesia. Sehingga, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, influencer dari berbagai kalangan harus menjadi penggerak dan teladan di masyarakat dalam melawan pandemi.

 

“Rakyat harus dihimpun dan digerakkan dengan leadership dan keteladanan. Jika pejabat pemerintah tidak menunjukkan keteladanan, maka jangan salahkan rakyat jika tidak taat prokes dan bersikap masa bodoh,” tegasnya.

 

Ketua DPP PKS ini meminta agar pejabat pemerintah dapat memastikan langkah antisipatif setiap kali membuat kegiatan agar tidak memicu terjadinya spontanitas kerumunan rakyat.

 

"Jika kegiatannya membagi-bagi atau melempar barang, tentu saja rakyat yang memang sedang kesulitan ekonomi akan berebut untuk mendapatkannya. Sebaiknya dipikirkan bentuk kegiatan lain yang lebih humanis, kreatif dan mendidik, sehingga prokes terjaga, rakyat pun aman,” ucapnya.

 

Netty mengingatkan bahwa meskipun Indonesia sedang menjalankan proses vaksinasi, bukan berarti sudah bebas Covid-19.

 

Mereka yang divaksin juga tidak lantas langsung kebal. Bahkan, jangan sampai proses vaksinasi justru menjadi tempat terjadinya kerumunan seperti yang terjadi di Pasar Tanah Abang dan lainnya.

 

“Selain itu, penerapan aturan seperti larangan berkerumun harusnya berlaku bagi siapa saja, rakyat biasa maupun pejabat pemerintah. Begitu juga dengan sanksi yang mengikutinya jika terbukti melanggar. Aparat penegak hukum tidak usah tebang pilih dalam menjalankan tugasnya,” tegasnya.

 

Terakhir Netty meningatkan agar semua pihak tidak menganggap remeh pandemi Covid-19. Kebijakan 3T harus ditingkatkan lebih masif lagi, gerakan 3M harus semakin ketat. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan kemanan dan kesehatan rakyat, “Oleh karena itu, berikanlah contoh yang baik agar bisa menjadi teladan di tengah masyarakat dan bukan sekadar jargon saja,” tutupnya. (rmol)


 


SANCAnews – Operasi tangkap tangan (OTT) yang menyasar Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah menuai pertanyaan dari publik. Sebab, OTT terkait dugaan penerimaan suap proyek infrastruktur itu terkesan sengaja dilakukan hanya untuk wilayah Sulsel.

 

“Meskipun memang KPK menemukan bukti-bukti, tapi itu menimbulkan spekulasi, kenapa Sulsel yang disasar sementara mungkin ada juga daerah lain yang enggak kalah gilanya dan ganasnya dengan Sulsel (tidak di-OTT),” tegas politisi PKS, Muhammad Nasir Djamil kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (28/2).

 

Pada dasarnya, ia sepakat dengan semangat pemberantasan korupsi yang terus dilakukan lembaga pimpinan Firli Bahuri itu. Namun lembaga antirasuah juga perlu berbenah agar dalam kinerja yang dilakukan tidak selalu menuai pro dan kontra.

 

Seperti halnya dalam pengusutan kasus OTT Nurdin Abdullah. KPK, kata dia, harus membuka fakta sejelas-jelasnya, termasuk kemungkinan praktik serupa di daerah lain yang melibatkan kepala daerah.

 

“Kenapa Nurdin Abdullah yang disasar? Apakah tadi, ingin meruntuhkan citranya atau gimana? Atau ada motif-motif di luar penegakan hukum. Lalu kenapa daerah lain tidak? Padahal daerah lain itu lebih ganas,” tandasnya. []


 


SANCAnews – Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu di sebuah negara otoritarian dan yang cenderung ke ara sana merupakan hal yang mustahil.

 

Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule bahkan mengaku heran dengan pihak-pihak yang masih berharap hukum tegak di negara semacam itu. 

 

“Di negara otokrasi dan otoritarian, mana mungkin hukum bisa ditegakkan? Sampai gigi tumbuh bulu pun, mungkin tak akan pernah terjadi,” begitu tuturnya saat berbincang dengan redaksi Minggu (28/2).

 

Menurutnya, untuk menghindari Indonesia menjadi negara yang otoritarian, maka minimal penegakan hukum harus tegas dan adil kepada siapa saja. Hukum tidak boleh membedakan status sosial atau jabatan seseorang.

 

Misal dalam penegakan hukum mengenai masalah kerumunan. Iwan Sumule sependapat dengan Presiden Joko Widodo yang tidak ingin pengendalian Covid-19 rusak akibat aparat penegak hukum tidak berani menghukum.

 

Apalagi, sambungnya, sudah ada preseden dalam kasus ini. Di mana seseorang yang dianggap menyebabkan kerumunan sudah menjadi tersangka dan kini menjadi tahanan aparat untuk menjalani proses persidangan.

 

“Semua harus dihukum jika memang menimbulkan kerumunan, karena berpotensi menyebabkan klaster baru Covid-19, ” tegasnya.

 

Sementara saat disinggung mengenai kerumunan yang terjadi di Maumere, Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu, Iwan Sumule menegaskan bahwa keadilan harus turut ditegakkan.

 

Baginya, perlu dicari akar dari kerumunan tersebut sehingga bisa diadili. Dengan begitu, akan ada efek jera di kemudian hari bagi mereka yang tidak berhati-hati hingga menyebabkan kerumunan.

 

“Intinya semua harus adil. Rakyat yang salah kah, Paspampres kah, atau presiden?” tutupnya. (rmol)


 


SANCAnews – Kebijakan Presiden Jokowi yang membuka izin investasi minuman keras menimbulkan polemik. Banyak pihak menyampaikan kritik atas kebijakan itu, terlebih kepada presiden dan wakil presiden.

 

Dalam sebuah cuitan yang diunggah Minggu (28/2/2021) Said Didu menanggapi kebijakan itu dan menyentil kapasitas Maruf Amin sebagai seorang wakil presiden.

 

Dalam cuitan tersebut, Sadi Didu mengingatkan bahwa minuman keras merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Ia lantas meminta Maruf menggunakan kekuasaannya untuk menyelamatkan umat.

 

"Bapak Wapres Kiyai_MarufAmin yang terhormat, setahu saya, bagi Islam miras adalah haram. Saudara kita di Papua menolak miras untuk menyelematkan warganya," tulis Said Didu.

 

"Mohon perkenan Bapak gunakan kekuasaan untuk selamatkan umat di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Bapak," lanjutnya.

 

Menanggapi cuitan Said Didu, para warganet lantas menuliskan beragam komentar, "Mestinya Habib Luthfi dan Yusuf Mansur bicara jangan diam," tulis warganet dengan akun @AdijayaSa****.

 

Ada juga warganet yang meminta Maruf Amin untuk mengambil tindakan terkait kebijakan tersebut.

 

"Pak kyai_marufamin bertindaklah Pak. Bukankan Allah telah mengharamkan khamar? Lalu bagaimana mungkin, bapak akan membiarkan ini? Gunakanlah kekuasaan Bapak. Karena memerangi dengan doa saja, adalah tanda selemah-lemahnya iman. Saya mohon dengan sangat, berbuatlah Pak, dengan ilmu dan kekuasaan Bapak," tulis warganet dengan akun @Mitrawat***.

 

"Kiyai_MarufAmin ditunggu oleh umat sikap dan kebijakannya. Kapan berani keluar dari zona nyaman. Ingat, semua dipertanggungjawabkan. Jangan diam saja melihat orang yang berani ngaku-ngaku seperti Umar bin Khattab melegalkan miras!" tulis warganet dengan akun @fatimahpej****.

 

Selain Said Didu, beberapa pihak juga menunjukkan kekhawatiran mereka. Salah satunya ialah MUI, yang juga menyampaikan kekecewaan terhadap kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanam Modal tersebut. []


 


SANCAnews – Keputusan Presiden Jokowi membuka peluang investasi perusahaan miras di 4 provinsi di Indonesia menuai pro kontra. Sebagian pihak menolak keras keputusan ini.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis dengan keras menolak investasi miras di Indonesia, meskipun hanya di 4 provinsi. Lewat unggahan di instagram, Cholil menilai, apa pun jenis dan tempatnya, segala hal yang memabukkan itu hukumnya haram.

 

"Apa pun jenisnya yang memabukan itu bahaya pada akal, maka hukumnya haram. Di mana pun itu tempatnya kalau di minum memabukkan maka hukumnya haram. Maka penjualnya pun kalau tahu untuk diminum hingga memabukkan maka hukumnya haram," kata Cholil Nafis, Minggu (28/2).

 

Demikian juga orang yang berinvestasi untuk bisnis miras itu hukumnya haram. Yang membiarkan kemungkaran dengan melegalkan miras dan investasi maka hukumnya haram. Termasuk yang melegalkan investasi miras itu sama dengan mendukung beredarnya miras maka hukumnya haram.

 

Dia menilai, negara tidak bisa berlindung di balik alasan adanya kearifan lokal untuk melegalkan investasi perusahaan miras. Negara, bahkan WHO sudah tahu betul berapa banyak orang yang tewas karena miras, atau tindakan kejahatan yang muncul usai mabuk karena miras.

 

"Jika negara ini harus melarang beredarnya miras maka apalagi investasinya juga harus dilarang. Tak ada alasan karena kearifan lokal kemudian malah melegalkan dalam investasi miras karena itu merusak akal pikiran generasi bangsa," ujar dia.

 

"WHO sudah mencatat bahwa tahun 2014 orang yang mati karena miras lebih dari 3 juta jiwa lebih banyak dari korban mati karena COVID-19," tambah dia.

 

Sedangkan, dari segi dalil tentu sudah banyak dan sering disampaikan. Sudah sangat jelas, miras lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.

 

"Buat apa pemerintah melegalkan investasi miras? Tolak miras dan dukung RUU jadi UU pelarangan miras untuk semua umur," ucap dia.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi meneken regulasi turunan UU Cipta Kerja yang membuka peluang investasi minuman keras (miras). Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, investasi miras diizinkan di 4 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

 

Dikutip kumparan dari lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021, ada 46 bidang usaha yang masuk kategori terbuka dengan persyaratan khusus. Tiga di antaranya yakni Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol, Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol: Anggur, dan Industri Minuman Mengandung Malt.

 

Masing-masing tertera di urutan nomor 31, 32, dan 33, lampiran Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021 tersebut. Ada pun persyaratan khusus yang dimaksud untuk industri minuman keras, yakni untuk investasi baru hanya dapat dilakukan di 4 provinsi. []


Demikian juga orang yang berinvestasi untuk bisnis miras itu hukumnya haram. Yang membiarkan kemungkaran dengan melegalkan miras dan investasi maka hukumnya haram. Termasuk yang melegalkan investasi miras itu sama dengan mendukung beredarnya miras maka hukumnya haram.
--KH Cholil Nafis

 

 


SANCAnews – Tindakan Bareskrim Polri yang dua kali menolak laporan kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan terkait kerumunan massa saat Presiden Joko Widodo membagi-bagikan hadiah dalam kunjungan kerja (kunker) di NTT, beberapa waktu lalu mendapat sorotan banyak pihak.

 

Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman turut angkat bicara menanggapi tindakan polisi yang menolak dua laporan dugaan kasus prokes Covid-19 Presiden Jokowi. Menurutnya, tindakan itu membuktikan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

 

"Itulah bukti kesekian kalinya bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas," ucap Munarman saat dihubungi Suara.com, Sabtu (27/2/2021) malam.

 

Dia pun menganggap jika polisi masih tebang pilih dalam menerima laporan kasus terutama yang melibatkan elite-elite di pemerintahan.

 

"Sudah hancur semua sendi-sendi hukum akibat praktek penegakkan hukum yang tebang pilih," kata dia.

 

Ia menilai apabila pihak kepolisian enggan mengusut pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Jokowi, maka Habib Rizieq Shihab harus segera dibebaskan.


Saat ini Rizieq masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri karena dianggap melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19.

 

"Harusnya Habib Rizieq (HRS) segera dibebaskan, bila aparat hukum tidak bisa menangkap pelanggar prokes di NTT tersebut," kata Munarman.

 

Sebelumnya, Bareskrim Polri menolak laporan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) terkait adanya dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat. PP GPI diminta untuk membuat laporan secara resmi.

 

Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum dan HAM PP GPI Fery Dermawan. Fery menyebut barang bukti yang telah mereka bawa pun tidak diterima alias dikembalikan oleh petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri.

 

"Intinya tadi kami sudah masuk ke dalam ini laporan masuk tapi tidak ada ketegasan di situ. Jadi intinya bukti kita dikembalikan, hanya ada pernyataan bahwasannya ini untuk diajukan secara resmi kembali," kata Fery di Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (26/2/2021).

 

Menurut Fery, petugas SPKT tidak secara tegas menyatakan menolak laporan yang hendak pihaknya layangkan. Namun, dia memastikan bahwa mereka tidak menerima surat tanda terima berupa Nomor Laporan Polisi (LP) dari petugas SPKT Bareskrim Polri.

 

"Ini tidak ada nomor LP. Saya tidak berani menyatakan ini ditolak karena disaat saya meminta ketegasan apakah ini ditolak? Tidak ada jawaban ini ditolak. Intinya silakan bikin laporan secara resmi, itu jawaban yang kami terima. Jelas kami tidak puas dengan jawaban ini," ujarnya.

 

Dua Kali Tolak Laporan 

Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan sebelumnya telah lebih dahulu membuat laporan serupa ke Bareskrim Polri. Laporan itu dilayangkan oleh Ketua Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan Kurnia pada Kamis (25/2) kemarin.

 

Ketika itu Kurnia hendak melaporkan Jokowi yang dituding telah melanggar protokol kesehatan. Menurutnya, Jokowi juga abai terhadap protokol kesehatan lantaran membagikan cinderamata ketika kerumunan massa penyambutnya terjadi NTT.

 

Hanya saja, petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri tak menerbitkan Surat Laporan Polisi terkait laporan dari Kurnia seperti halnya kepada PP GPI. Ketika itu, kata Kurnia, petugas SPKT hanya menyarankan pihaknya membuat surat laporan tertulis yang kemudian diberi stampel oleh bagian Tata Usaha dan Urusan Dalam (TAUD).

 

"Pihak kepolisian yang tidak mau menerbitkan Laporan Polisi atas laporan kami terhadap terduga pelaku tindak pidana pelanggaran kekarantinaan kesehatan yakni sang presiden," kata Kurnia kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).

 

Kurnia pun mengaku kecewa. Sekaligus, mempertanyakan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum kepada Polri berkaitan dengan kasus tersebut. "Kami mempertanyakan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) apakah masih ada di republik ini?," pungkasnya. []


 


SANCAnews – Era pemerintahan Joko Widodo dinilai sebagai era yang berpotensi lebih buruk dari rezim Orde Baru. Penilaian tersebut disampaikan oleh Panitia Pelaksana Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), M. Gde Siriana Yusuf, menanggapi sejumlah peristiwa yang terjadi selama kepemimpinan Jokowi.

 

Mulai dari peristiwa korupsi yang merajalela, hingga adanya politik dinasti karena anak dan menantu menjabat sebagai kepala daerah di saat Jokowi masih aktif menjabat presiden.

 

Gde lantas mengingatkan bahwa peristiwa Reformasi 1998 terjadi karena rakyat melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di rezim Orde Baru. Sementara di saat ini, KKN masih belum berakhir.

 

Celakanya, masalah itu bertambah dengan adanya dinasti politik, "Hari ini, boro-boro KKN-nya lenyap, justru ditambah lagi dengan dinasti politik," kata Gde kepada redaksi, Minggu (28/2).

 

Sehingga, Gde bertanya-tanya apakah rezim saat ini pantas dianggap lebih parah dibanding rezim Orba.

 

"Benar nggak sih? Kalau bener rezim ini pantas disebut KKN-dinasti. Artinya, lebih parah dari rezim Orde Baru," pungkas Gde. (rmol)




SANCAnews – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie merasa sedih lantaran ada pihak-pihak yang melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Bareskrim Polri.

 

Sebelumnya, Jokowi dilaporkan ke Bareskrim oleh Koalisi Masyarakat Andi Ketidakadilan dan Gerakan Pemuda Islam (PGI) atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan saat kunjungan ke Maumere, Sikka, NTT pada Selasa (23/2) lalu.

 

Namun, dua laporan terhadap Presiden Jokowi itu tidak diproses oleh pihak Bareskrim.

 

"Sedih juga dengan adanya kasus orang melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan Presiden Jokowi ke Bareskrim POLRI," tulis Prof Jimly melalui akun pribadinya @JimlyAs pada Minggu pagi (28/2).

 

Pakar hukum tata negara yang kini menjabat anggota DPD RI itu juga menyinggung adanya mekanisme yang sudah diatur konstitusi ketika seorang kepala negara diduga melakukan pelanggaran hukum.

 

"Presiden itu kepala negara & kepala pemerintahan. Kalau dia langgar hukum sudah ada aturannya di UUD45, yaitu diproses di DPR, ke MK&MPR, bukan ke POLRI via peradilan biasa," tegas Prof Jimly.

 

Sebelumnya, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan, Bareskrim bukan menolak laporan. Namun, laporan yang disampaikan tidak bisa ditindaklanjuti.

 

"Jadi, sebenarnya bukan menolak laporan tetapi setelah melakukan konsultasi dengan pihak yang akan membuat laporan, Kepala SPKT Bareskrim Polri menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam peristiwa itu," ujar Rusdi kepada JPNN.com, Sabtu (27/2).

 

Dengan tidak adanya pelanggaran hukum, maka kepolisian tak bisa mengusut laporan masyarakat.

 

"Sehingga, tidak dilanjutkan dengan membuat sebuah laporan polisi (menerbitkan nomor LP)," pungkas Rusdi.[]


 


SANCAnews – Masyarakat saat ini diperbolehkan untuk memproduksi minuman keras (miras). Hanya saja bukan sembarang miras. Hanya miras yang menjadi bagian dari budaya dan kearifan lokal setempat, salah satunya Arak Bali.

 

Seperti untuk wilayah Provinsi Bali. Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan minuman Arak Bali, Brem Bali dan Tuak Bali menjadi usaha yang sah untuk diproduksi dan dikembangkan, seiring berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

 

"Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang ditetapkan pada 2 Februari 2021 ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata Koster seperti dikutip dari Antara, Sabtu (27/2/2021).

 

Sebelumnya, ujar dia, telah berlaku Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sebagai penjabaran Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menetapkan bahwa industri minuman beralkohol merupakan bidang usaha tertutup.

 

Tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terdapat ketentuan yang mengubah Pasal 12 UU Penanaman Modal tersebut dengan menetapkan minuman beralkohol tidak merupakan bidang usaha tertutup penanaman modal.

 

Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu, ditetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.

 

"Atas nama pemerintah dan krama (masyarakat) Bali, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021," katanya.

 

Perpres tersebut, memperkuat keberadaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. []


 


SANCAnews – Presiden Jokowi melegalisasi miras sesuai Perpres No 10 Tahun 2021. Industri minuman keras ini bakal lebih terbuka untuk berkembang di Indonesia. Bagaimana tanggapan pengamat?

 

Perpres yang telah diteken Jokowi pada 2 Februari 2021 itu membuat Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin memberikan izin kepada investor atau perusahaan untuk memproduksi dan memperjualbelikan minuman beralkohol secara terbuka dengan syarat tertentu.

 

Perpres No 10 yang ditandatangani Jokowi ini mendapat respons keras dari berbagai kalangan masyarakat.

 

Meski Perpres ini berlaku untuk di daerah tertentu saja, tetap saja banyak masyarakat yang menolak legalisasi miras.

 

“Kegelisahan hingga penolakan masyarakat atas legalisasi miras menunjukkan bahwa DPR belum tentu mewakili suara rakyat. Mengapa?” ujar Pengamat Politik dan Hukum Gde Siriana Yusuf kepada Kantor Berita Politik RMOL (Group Pojoksatu.id), Sabtu (27/2).

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini pun mempertanyakan, bagaimana bisa Perpres No.10/2021 pada lampiran III memasukkan usaha miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan.

 

Diungkap Gde Siriana, Perpres tersebut turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 12 UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Yang Melarang Bidang Usaha Miras.

 

UU Cipta Kerja kemudian memasukan miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan, “Jadi inilah yang ditakutkan masyarakat ketika menolak Omnibus Law. Saya juga enggak tahu apakah semua anggota DPR membaca pasal ini,” jelasnya.

 

“Sekarang masyarakat ribut setelah keluar perpres sebagai turunan UU Cipta Kerja soal legalisasi miras,” tambahnya.

 

Gede Siriana meragukan DPR telah berjuang mewakili kepentingan masyarakat seiring terbitnya Perpres No 10/2021 ini yang diteken Jokowi ini.

 

Terlebih lagi, sekarang Jokowi tampaknya dapat berlindung di balik UU Cipta Kerja. Sementara DPR sudah tersandera dalam kehendak eksekutif.

 

“Saya pribadi melihatnya begini, Perpres ini kan turunan dari UU Cipta Kerja, kalau proses legislasi induknya sudah cacat, misalnya sosialisasi soal miras ini disampaikan transparan atau tidak kepada publik, maka produk turunannya yaitu Perpres ini akan juga cacat,” bebernya.

 

Menurutnya, secara nilai UU Ciptaker ini kan cacat moral. Jika diuji dengan konstitusi dan Pancasila, apakah bisnis miras ini bisa diterima untuk ditumbuhkan?

 

“Jika DPR memang setuju, ya legalkan saja sekalian perjudian dan prostitusi. Jangan nanggung-nanggung. Biar bangsa ini dihancurkan sekalian sama pemimpinnya” tutupnya. []


 


SANCAnews – Industri minuman keras bakal lebih terbuka untuk berkembang di Indonesia usai Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 10 Tahun 2021.

 

Perpres yang telah diteken Jokowi pada 2 Februari 2021 itu membaut pemerintah memberikan izin kepada investor atau perusahaan untuk memproduksi dan memperjualbelikan minuman beralkohol secara terbuka dengan syarat tertentu.

 

Kontan Perpres ini mendapat respons keras dari berbagai kalangan masyarakat. Meski Perpres ini berlaku untuk di daerah tertentu saja, tetap saja banyak masyarakat yang menolak legalisasi miras.

 

"Kegelisahan hingga penolakan masyarakat atas legalisasi miras menunjukkan bahwa DPR belum tentu mewakili suara rakyat. Mengapa?" ujar Gde Siriana Yusuf kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (27/2).

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini pun mempertanyakan, bagaimana bisa Perpres No.10/2021 pada lampiran III memasukkan usaha miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan.

 

Diungkap Gde Siriana, Perpres tersebut turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang menghapus pasal 12 UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang melarang bidang usaha miras. UU Cipta Kerja kemudian memasukan miras sebagai yang dilegalkan.

 

"Jadi inilah yang ditakutkan masyarakat ketika menolak Omnibus Law. Saya juga enggak tahu apakah semua anggota DPR membaca pasal ini. Sekarang masyarakat ribut setelah keluar perpres sebagai turunan UU Ciptakerja soal legalisasi miras," tambahnya.

 

Dengan demikian, Gede Siriana meragukan DPR telah berjuang mewakili kepentingan masyarakat seiring terbitnya Perpres No 10/2021 ini.

 

Terlebih lagi, sekarang Jokowi tampaknya dapat berlindung di balik UU. Sementara DPR sudah tersandera dalam kehendak eksekutif.

 

"Saya pribadi melihatnya begini, Perpres ini kan turunan dari UU Ciptaker, kalau proses legislasi induknya (UU Ciptaker) sudah cacat, misalnya sosialisasi soal miras ini disampaikan transparan atau tidak kepada publik, maka produk turunannya Perpres ini akkan juga cacat," bebernya.

 

Juga, imbuhnya, secara nilai UU Ciptaker ini kan cacat moral. Jika diuji dengan konstitusi dan Pancasila, apakah bisnis miras ini bisa diterima untuk ditumbuhkan?

 

"Jika DPR memang setuju, ya legalkan saja sekalian perjudian dan prostitusi. Jangan nanggung-nanggung. Biar bangsa ini dihancurkan sekalian sama pemimpinnya" tutupnya. []


 


SANCAnews – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan investasi minuman keras (miras) hukumnya haram. Alasannya, berinvestasi sama dengan mendukung beredarnya minuman beralkohol tersebut.

 

"Termasuk yang melegalkan investasi miras sama dengan mendukung beredarnya miras, maka hukumnya haram," ujar Ketua MUI, Cholil  Nafis, Minggu (28/2/2021).

 

Kebijakan investasi miras terangkum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang mulai berlaku pada 2 Februari 2021. Dengan kebijakan itu, industri miras dapat menjadi ladang investasi asing, domestik, hingga diperjualbelikan eceran.

 

“Jika negara ini harus melarang beredarnya miras, maka apalagi investasinya. Juga harus dilarang,” tegasnya.

 

Menurutnya, tak ada alasan melegalkan investasi serta peredaran miras dengan alasan budaya atau kearifan lokal setempat. []


 


SANCAnews – Ustad Tengku Zulkarnain menyentil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait investasi minuman keras (miras) yang kini mulai dibuka dibeberapa daerah.

 

Mantan Wasekjen MUI ini mengatakan, Jokowi dahulunya menarik simpati masyarakat dengan gayanya yang religius, seperti memimpin salat berjamaah dan lainnya. Namun kini membuka keran investasi miras.

 

“Dulu rajin jadi Imam Sholat berjama’ah sehingga menarik simpati banyak Orang,” sindir Tengku Zulkarnain dikutip twitternya, Sabtu (27/2).

 

Kebijakan Jokowi tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

 

“Kini apa lacur, setelah ditandatangani legalisasi minuman keras.. Masih banyak kah yang tetap simpati? Atau malah bertambah banyak kah?” sindir Tengku Zul lagi.

 

Dalam lampiran III Perpres 10/2021, pemerintah mengatur ada empat klasifikasi miras yang masuk dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu.

 

Pertama, industri minuman keras mengandung alkohol. Kedua, minuman keras mengandung alkohol berbahan anggur.

 

Adapun keduanya mempunya persyaratan yakni untuk penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.

 

Ketiga, perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol. Kempat, perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol. Namun, ada syaratnya yakni jaringan distribusi dan tempat harus disediakan secara khusus. []


 


SANCAnews – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menceritakan kronologis tangkap tangan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, bersama beberapa pihak lainnya yang kini telah menyandang status tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

 

Operasi senyap ini bermula dari informasi yang diterima oleh Tim KPK dari masyarakat pada Jumat kemarin (26/2). 

 

"Adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh kontraktor, AS (Agung Sucipto) kepada NA (Nurdin Abdullah) melalui perantaraan ER (Edy Rahmat) sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan NA," beber Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Minggu dinihari (28/2).

 

Firli menuturkan, sekitar pukul 20.24 WITA, AS bersama sopir IF (Irfan) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dimana ER telah menunggu. Dengan beriringan mobil, IF mengemudikan mobil milik ER sedangkan AS dan ER bersama dalam satu mobil milik AS menuju ke Jalan Hasanuddin Makassar.

 

Dalam perjalanan tersebut, AS menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Tahun Anggaran 2021 kepada ER.

 

"Sekitar pukul 21.00 WITA, IF kemudian memindahkan koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS ke bagasi mobil milik ER di Jalan Hasanuddin," tutur Firli. 

 

Selanjutnya, sekitar pukul 23.00 WITA, AS diamankan saat dalam perjalanan menuju ke Bulukumba. Sedangkan sekitar pukul 00.00 WITA, ER beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan di rumah dinasnya.

 

"Pada sekitar pukul 02.00 WITA, NA juga diamankan di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel," ucap Firli.

 

Firli menambahkan, kasus korupsi ini diawali dengan adanya keinginan dari AS selaku Direktur PT Agung Perdana Bulukumba mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan tahun anggaran 2021. AS sendiri telah lama kenal baik dengan NA.

 

Sejak Februari 2021, telah ada komunikasi aktif antara AS dengan ER sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan NA untuk bisa memastikan agar AS mendapatkan proyek yang diinginkannya di tahun 2021.

 

"Dalam beberapa komunikasi tersebut, diduga ada tawar menawar fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan kerjakan oleh AS," ujar Firli.

 

Sekitar awal Februari 2021, ketika NA sedang berada di Bulukumba bertemu dengan ER dan AS yang telah mendapatkan proyek pekerjaan Wisata Bira. NA pun menyampaikan kepada ER bahwa kelanjutan proyek Wisata Bira akan kembali dikerjakan oleh AS.

 

"NA memberikan persetujuan dan memerintahkan ER untuk segera mempercepat pembuatan dokumen DED (Detail Engineering Design) yang akan dilelang pada APBD TA 2022," urai Firli.

 

Di samping itu, pada akhir Februari 2021, ketika ER bertemu dengan NA disampaikan bahwa fee proyek yang dikerjakan AS di Bulukumba sudah diberikan kepada pihak lain. Saat itu NA mengatakan yang penting operasional kegiatan NA tetap bisa dibantu oleh AS.

 

"AS selanjutnya pada 26 Februari 2021 diduga menyerahkan uang sekitar Rp 2 miliar kepada NA melalui ER," tuturnya.

 

Selain itu, NA juga diduga menerima uang dari kontraktor lain. Dimulai pada akhir tahun 2020, NA menerima uang sebesar Rp 200 juta. Kemudian, pertengahan Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 1 miliar. Lalu, awal Februari 2021, NA juga melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar.

 

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Nurdin Abdullah bersama Sekdis PUPR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), dan kontraktor bernama Agung Sucipto (AS) sebagai tersangka suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

 

Nurdin Abdullah diduga telah menerima dugaan suap dari AS sekitar Rp 2 miliar dengan perantara Edy Rahmat.

 

Selain itu Gubernur Sulsel juga diduga menerima gratifikasi dari kontraktor lain dengan total Rp 3,4 miliar.

 

"Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang cukup, maka KPK menetapkan tiga orang tersangka; NA (Nurdin Abdullah), ER (Edy Rahmat), dan AS (Agung Sucipto)," ujar Firli Bahuri.

 

Akibat ulahnya, NA dan ER selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

 

Adapun, AS yang berperan sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.