OLEH: ARIEF GUNAWAN
WAKTU Indonesia mau merdeka bumiputera terdidik jumlahnya
cuma sedikit. Lebih sedikit lagi lulusan universitas. Ketika Sukarno terjun ke
lapangan politik, 1927, lulusan HBS (SMA) hanya 78 orang.
Orang Belanda pertama-tama bikin sekolah pertanian. Disusul
sekolah kedokteran. Sekolah hukum termasuk belakangan. Ilmu-ilmu humaniora
lebih dulu mereka kembangkan.
Namun konstruksi konstitusi dan ketatanegaraan Republik ini
dibangun oleh para ahli hukum bumiputera yang jumlahnya tak banyak itu. Mereka
umumnya bukan hanya memiliki bobot intelektualitas dan pemahaman ilmu yang
tinggi, tetapi juga bernyali.
Bernyali maksudnya berani mengambil keputusan yang memihak
rakyat, yang tercermin dari produk konstitusi mereka yaitu UUD 1945, yang kini
banyak diselewengkan elit kekuasaan.
Sutan Sjahrir yang anak jaksa studi hukum di Leiden. Ali
Sastroamidjojo, Mr Soepomo, Iwa Kusumasumantri, dan lainnya. Mereka memandang
hukum sebagai Volkgeist (Jiwa Bangsa) yang waktu itu lagi sakit. Karena itu
harus disembuhkan.
Penyelewengan konstitusi kini justru dipertontonkan.
Salah satunya presidential treshold, ambang batas pencalonan
presiden 20 persen yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Aturan ini seperti
jagal. Menutup peluang figur potensial jadi presiden.
"Mahkamah Konstitusi sangat berwenang menghapusnya,
sebagai satu-satunya lembaga yang ditugaskan mengawal UUD '45, agar betul-betul
diterapkan dalam pembentukan undang-undang," kata pakar hukum tatanegara
Feri Amsari.
Presidential treshold 20 persen nyatanya memang tidak diatur
UUD '45.
Pasal 6A ayat (2) UUD '45 tidak menyebut pembatasan dalam
pencalonan presiden. Justru menegaskan setiap partai politik dapat mengajukan
calon presiden dan calon wakil presiden.
"Jadi secara konstitusional keberadaan ambang batas
pencalonan presiden 20 persen tidak dibenarkan," tegas Feri Amsari.
Tokoh nasional Dr. Rizal Ramli sendiri menggugat peraturan
tersebut melalui judicial review. Mahkamah Konstitusi menolak meski
presidential treshold bertentangan dengan UUD '45.
"Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi bahwa saya
tidak punya legal standing untuk menggugat presidential threshold,
kekanak-kanakan," kata Rizal Ramli.
Presidential threshold pernah digugat dua belas kali. Sebelas diantaranya diterima dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Para penggugat adalah individu, termasuk Rizal Ramli, maupun individu yang mewakili organisasi, "Mereka takut banget saya gugat," kata Rizal lagi.
Faktanya Rizal Ramli punya legal standing dalam melakukan gugatan. Pada 2009 Rizal didukung sembilan partai yang tergabung dalam blok perubahan, antara lain Partai Buruh Sejahtera, Partai Kedaulatan, Partai PNBK dan lain-lain, untuk menjadi calon presiden, "Itu bukti saya sebetulnya bisa mencalonkan diri," tandas Rizal.
Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi tidak masuk
logika, sebab menyebut Rizal Ramli tak memiliki legal standing, karena tidak
mewakili partai politik sebagai pihak yang berkepentingan dengan pencalonan
presiden.
"Lho, yang mau kita ubah ini pola dan perilaku partai
yang selalu dapat setoran dari calon presiden, karena presidential threshold 20
persen. Mereka tidak suka kalau dihapus," kata Rizal.
Sistem ambang batas presiden 20 persen merupakan legalitas
dari sistem politik uang dan demokrasi kriminal yang merusak kehidupan
bernegara.
Mengakibatkan kekuatan uang jadi sangat menentukan dalam
pemilihan pemimpin di Indonesia. Kelompok utama yang mendukung sistem ini adalah
bandar dan cukong.
"Saya yakin kalau berdebat soal ini hakim Mahkamah
Konstitusi enggak berani. Mereka tidak percaya diri bisa menang argumen. Kami
memang meragukan bobot intelektual hakim Mahkamah Konstitusi," papar Rizal
Ramli.
Hal lainnya, 48 negara di dunia menggunakan sistem pemilihan
dua tahap seperti di Indonesia, tapi tidak memberlakukan presidential
threshold.
"Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi ketinggalan, karena
kurang baca. 48 negara sudah meninggalkan sistem presidential treshold,"
tegas Rizal.
(Penulis adalah wartawan senior.)