Jakarta, SN – Sejumlah pasal di draf RUU Pemilu menuai pro
dan kontra. Salah satu pasal yang dibahas adalah jadwal penyelenggaraan pilkada
serentak.
Dalam draf RUU Pemilu, pilkada serentak diusulkan digelar
pada 2022 dan 2023. Untuk penyelenggaraan pilkada pada 2022 diatur dalam Pasal
731 ayat 2 dan 3 draf RUU pemilu.
Dalam pasal 731 diatur provinsi dan kabupaten/kota yang
terakhir menggelar pilkada di 2017 akan kembali menggelar pilkada di 2022,
termasuk Pilgub DKI Jakarta.
Selain DKI Jakarta, pada 2017 sebanyak 100 daerah (provinsi,
kabupaten, kota) juga menggelar pilkada, seperti Provinsi Aceh, Banten, Bangka
Belitung, Papua Barat, Gorontalo, hingga Sulawesi Barat.
Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa mengatakan, seluruh fraksi
sepakat pelaksanaan pilkada serentak dinormalisasi dan diadakan di tahun 2022.
Namun, kata dia, PDIP memberikan catatan bahwa mereka ingin pilkada serentak
digelar di 2024, bukan 2022.
"Nah terkait dengan pilkada, PDI memberikan catatan
karena pengin di 2024 tetap. Nah, akhirnya PDI di drafnya tetap kan
diharmonisasi, tapi PDI memberikan catatan terkait hal itu," kata Saan di
Gedung DPR, Senayan, Selasa (26/1).
"Nah tapi di luar itu, PDI saja yang memberi catatan,
yang lain-lain inginnya normal. Normal," sambungnya.
Meski begitu, Saan menuturkan PDIP tak memaksakan kehendak
agar pelaksanaan pilkada serentak digelar 2024. Keputusan akan diambil dalam
pembahasan komisi II, "Tapi dia (PDI), tidak memaksakan tapi hanya
memberikan catatan," lanjut dia.
Sekretaris Fraksi NasDem itu pun mengungkapkan saat
penyusunan draf RUU pemilu, Gerindra belum menentukan sikap terkait jadwal
pelaksanaan pilkada.
"Kalau Gerindra sama sekali tidak memberikan sikap sama
sekali terkait semua isu krusial. Sikapnya nanti akan ditunjukkan pada saat
pembahasan. Jadi Gerindra sama sekali enggak bersikap, apakah dia mau 2024 atau
normal, enggak. Apakah dia mau proposional tertutup atau terbuka, dia enggak.
PT-nya mau berapa dia enggak," tutup dia. [gelora]