BEKERJA sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI pada 7 Desember 2020.
Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM.
Menurut UU 39/1999 tentang HAM, Komnas HAM adalah lembaga
mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan dan mediasi HAM.
Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas
HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga
terdapat pelanggaran HAM.
Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus
penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu:
Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik
diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra
ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka
sesuai UU 26/2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari
Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2).
Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya
pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang
diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal
termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini.
Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi
penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan
pelanggaran atas tanggungjawab moral
kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak
terklarifikasi baik dalam penyelidikan.
Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja
kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan
Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan
khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada
Presiden.
Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus
penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika
Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi.
Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan
atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan.
Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar
"mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan
kredibilitas dalam Komnas HAM".
Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara
kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan
pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu
sendiri.
Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak
efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka
sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja.
M. Rizal Fadillah
(Pemerhati politik dan kebangsaan)