Komisioner Komnas HAM
Munafrizal Manan/Ist |
Jakarta, SN – Wakil Ketua Internal Komisi HAM Munafrizal Manan meminta
pemerintah tidak membubarkan organisasi hanya berdasarkan prinsip contrarius
actus dan tanpa mekanisme proses peradilan (due process of law).
Pandangan tersebut disampaikan Munafrizal pada acara diskusi
publik bertajuk "Kebebasan Berserikat di Negara Demokrasi" yang
diselenggarakan secara daring oleh Imparsial pada Selasa (29/12/2020).
Dalam kacamata HAM, menurutnya, sanksi pencabutan status
badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas
tidak dapat dibenarkan.
"Karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang
dalam mematikan suatu organisasi,” kata Munafrizal dikutip dari laman resmi
komnasham.go.id, Rabu (30/12/2020).
Terlebih, di mana negara dilarang melakukan intervensi yang
mereduksi atas hak berkumpul. Negara juga memiliki kewajiban memastikan semua
warganya menikmati hak tersebut.
“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan
ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis," ucapnya.
"Kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya
demokratis."
Komnas HAM mendefinisikan hak berserikat dan berkumpul
merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan
hak sipil dan hak politik.
Hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan
berekspresi dan menyampaikan pendapat, yang diaktualisasikan melalui
keleluasaan orang menyampaikan pikiran, ide, aspirasi, dan keyakinan secara
kolektif.
Prinsip dasar umum mengenai hak kebebasan berserikat
dijabarkan Munafrizal, antara lain:
1. Setiap orang berhak membentuk atau bergabung dengan suatu
serikat/organisasi/asosiasi.
2. Tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk bergabung
dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi.
3. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atas seseorang
untuk menikmati hak kebebasan berserikat/berorganisasi/berasosiasi.
Munafrizal juga menyinggung hak kebebasan berserikat dan
berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu
dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan.
Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan
secara bersyarat sesuai International Covenant on Civil and Political Rights,
UUD Tahun 1945, dan UU HAM.
Munafrizal menegaskan, pembatasan kebebasan berserikat dan
berkumpul harus diatur oleh hukum.
"Jadi, keputusan pemerintah membatalkan status badan
hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek
hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus
berdasarkan putusan pengadilan,” katanya.
Berdasarkan prinsip due process of law, suatu organisasi yang
melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan
publik, atau membahayakan keamanan negara, dapat dibubarkan melalui proses
pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.
Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun
cenderung mengebiri kedaulatan rakyat.
UU ini dibentuk maksudnya untuk menerapkan sanksi yang
efektif terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian, terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius
actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku
serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana.
“Masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak
asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat
tidak boleh diamini. Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa
bahwa kita negara hukum dan negara demokratis," katanya.
"Hubungan negara masyarakat, dalam konteks yang ideal
demokratis dapat mencapai titik equilibrium, di mana tidak boleh ada negara
yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi. Namun
tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari negara karena akan melahirkan
vandalism dan anarkisme."[kompas.tv]