Penampakan petani Bidar Alam di perkebunan sawit ( foto : istimewa)


Solok Selatan, SNC - Situasi yang dihadapi masyarakat Bidar Alam dengan PT. Ranah Andalas Plantation (PT. RAP) semakin panas dan meruncing dan hal ini dimulai dengan kesepakatan untuk mengembangkan kelapa sawit di lahan masyarakat sejak 2006.

Dalam siaran pers bersama yang disampaikan LBH Padang dan Walhi Sumatera Barat pada 29 September lalu, masyarakat menyatakan bahwa mereka merasa PT. RAP tidak memenuhi isi kesepakatan yang disepakati para pihak, sehingga merugikan masyarakat selama puluhan tahun.

Dalam rilisnya, para petani Bidar Alam menghadiri pemanggilan Polres Solok Selatan atas dugaan ancaman pidana yang dipicu karena PT RAP terus melakukan panen namun tidak memberikan manfaat kepada masyarakat sehingga masyarakat melaporkan kasus tersebut ke LBH Padang dan Walhi Sumbar mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut.

Ditempat terpisah, puluhan petani Bidar Alam melakukan panen sawit yang berada di tanahnya masing-masing karena jengah dengan PT RAP yang tidak memenuhi janjinya. Situasi akibat Covid-19 yang semakin menyengsarakan masyarakat membuat masyarakat mesti bertahan hidup dengan cara apapun. Namun panen ini, dihalangi oleh beberapa orang yang diduga berasal dari Kesatuan Brimob dengan menggunakan senjata lengkap yang dapat memicu konflik yang lebih luas.

Masih terkait dengan situasi tersebut, Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani meminta kepada semua pihak, terutama institusi kepolisian, untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani Bidar Alam.

“Keberadaan Brimob di lokasi diduga menyalahi amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan dapat terkategori pada dugaan penyalahgunaan wewenang,” terangnya.

Kepolisian harus mengetahui bahwa PT RAP saat ini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan izin lainnya sudah habis masa berlakunya sehingga lahan tersebut menjadi milik petani Bidar Alam dan bukan milik PT RAP.

"Oleh karena itu, kami akan segera meminta penjelasan tertulis dari Polda Sumbar terkait pengurangan anggotanya ke lokasi Bidar Alam," kata Indira dalam siaran persnya, Selasa (29/9/20).

Secara terpisah, Uslaini, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, meminta kepada semua pihak agar menahan diri dan menggunakan pendekatan persuasif serta menghindari kontak fisik yang berujung pada kekerasan yang akan merugikan banyak pihak.

"Para pembuat kebijakan baik di Provinsi Sumatera Barat maupun Kabupaten Solok Selatan harus berupaya menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan tanpa berlarut-larut dan pengerahan pasukan keamanan oleh perusahaan dapat memicu konflik yang lebih besar jika aparat keamanan tidak netral," ungkapnya.


Minta yang Mewakili Masyarakat Jujur

Disisi lain Juru Bicara /sekaligus  Kuasa Hukum PT RAP dari JJA, Hamdani didampingi Jon Amalta, SH  dan Khairul Jafni,SH mengatakan, pihak PT RAP tidak setuju masyarakat diintimidasi.

"Kita juga tidak setuju masyarakat diracuni dengan opini yang salah serta dibohongi oleh pihak tertentu. Sebaiknya pihak yang mewakili masyarakat tersebut jujur kepada masyarakat dari pada masyarakat itu sendiri mengetahui sebenarnya," sebut Hamdani.

Lebih lanjut ia meminta pihak yang mewakili masyarakat yang menangani PT. RAP harus terbuka dan terus terang dengan masyarakat.

"Hak Guna Usaha (HGU) kami dipersulit keluar oleh beberapa pihak yang diduga sengaja memeras kami selama berinvestasi. Kami tidak tidak pernah menyalahkan masyarakat, karena masyarakat tidak bersalah. Maka dari itu, kami tidak setuju dengan intimidasi terhadap masyarakat,” ucap Jon Amalta, SH.

"Untuk diketahui oleh semua pihak, bahwasanya masyarakat Bidar Alam Kabupaten Solok Selatan dan kami selaku investor adalah korban", jelas Jon Amalta kepada media RedaksiDaerah.com, Sabtu (03/10/20).

Terkait dengan pernyataan Walhi Sumbar dalam siaran pers yang dikeluarkan pada tanggal 29 September 2020 yang menyatakan, masyarakat merasa PT RAP tidak mematuhi isi perjanjian yang telah disepakati para pihak hingga merugikan masyarakat berpuluh-puluh tahun.

Pihak RAP mempertanyakan  pernyataan tersebut, PT. RAP merasa dengan pernyataan tersebut berkelebihan, "Apa dasar Walhi Sumbar mengatakan berpuluh-puluhan tahun dan Walhi Sumbar juga menyebut konflik ini bermula dengan adanya perjanjian kerjasama pembangunan Kelapa Sawit di tanah masyarakat dengan PT. RAP sejak tahun 2006.

Jon Amalta menuturkan, kalau dari tahun 2006 dan sekarang tahun 2020, berartikan ini baru 14 tahun. Kalau 14 tahun, masih termasuk belasan tahun dan bukan berpuluh-puluhan tahun, tutur Jon Amalta.

Kemidian Hamdani menyuruh untuk menggali data dan fakta yang benar sebaik mungkin sesuai kenyataan dan bersikap adillah, “Kami berharap pihak LBH Padang dan Walhi Sumbar tidak salah mengambil sikap dan pernyataan agar keadaan tidak semakin runcing," jelas hamdani.

Ia menambahkan, PT RAP sangat berharap ada sosok atau pihak yang berkompeten yang mampu memediasi benang yang dicabut, agar tepung tidak tercecer. Masalah bisa diselesaikan dengan baik, bijak dan adil.

Semua pihak yang terlibat dalam masalah ini tidak dirugikan. Pada akhirnya Kabupaten Solok Selatan dinilai masih layak untuk berinvestasi di beberapa sektor. Masyarakat bisa menjalankan kehidupan sehari-hari dan daerah ini mendapat investasi untuk kemajuan.
"Tak ada lagi pihak-pihak yang merugikan masyarakat setempat, Pemerintah Daerah dan pihak Investor serta siapa saja hanya untuk sebuah kepentingan kelompok atau oknum seorang," tutup Hamdani. (sanca/redaksidaerah)


Label:

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.