Ketua
Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule saat mengajukan
gugatan UU 2/2020.
Di satu sisi, Soeharto memang dikenal otoriter dalam memimpin
negeri. Alhasil gelombang amarah rakyat tidak dapat terbendung dan akhirnya
menumbangkan Soeharto dalam reformasi 1998. “Dulu kemarahan rakyat terhadap
rezim Soeharto adalah KKN dan otoriter. Reformasi 1998 pun memaksa Soeharto
mundur dan turun tahta. Namun kondisi itu berbanding 180 derajat dengan hari ini,” urai Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM)
Iwan Sumule dilansir rmol, Jumat (24/7).
Rakyat cenderung diam melihat polah pemimpin. Bahkan
sekalipun pemimpin negeri ini terang benderang mempersilakan anaknya maju di pilkada.
Langkah yang dinilai oleh sebagian publik sebagai upaya menancapkan cakar
dinasti. Iwan Sumule melihat tidak ada pergerakan signifikan dari kelompok
pemuda, aktivis, dan mahasiswa dalam mengkritisi fenomena ini. Sebaliknya,
muncul kelompok yang mengatasnamakan pemuda, aktivis, dan mahasiswa yang
mendukung praktik-praktik KKN tersebut. “Hari ini KKN malah semakin menjadi,
politik dinasti secara vulgar dipertontonkan Jokowi. Anehnya, rakyat bukan saja
diam, malah membela. Ngenes!” kesalnya.
Tidak cukup sampai di
situ, Iwan Sumule juga mencatat bahwa tidak sedikit pelanggaran konstitusi dan
UU yang telah dilakukan pemerintah. Sistem ketatanegaraan diorak-arik melalui
penerbitan Perppu 1/2020 yang kini menjadi UU 2/2020. “UU Corona bukti bagaimana
rezim Jokowi merusak sistem ketatanegaraan, melakukan pelanggaran serius
terhadap konstitusi, dan praktik otoritarian dijalankan,” tutupnya yang kembali
merasa ngenes lantaran rakyat tidak ada yang tergugah untuk bergerak.(sanca)