Jakarta, SancaNews.Com – Beredar ramai di grup aplikasi
pesan whatsapp tulisan salah seorang pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi),
bahkan bisa dikatakan fanatik. Dia adalah Abdillah Toha. Tulisannya menyoal
refleksinya dalam mendukung mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Ditelusuri dari akun twitternya, @AT_Abdillah_Toha, ia
mencuit sebuah kalimat ‘Ke Mana Jokowi Akan Membawa Kita?’. Kemudian disertai
link tulisan di laman qureta.com yang diunggah pada Jum’at (10/7/2020).
Berikut tulisannya
seperti dikutip penapolitika.com, Senin (13/7/2020):
Saya adalah seorang pendukung Jokowi yang oleh sebagian orang
dikatakan fanatik. Mungkin tidak terlalu salah. Sejak pilpres pertama, saya
telah mendukung beliau. Sayalah yang membuat tulisan “10 alasan kenapa saya
memilih Jokowi” yang kemudian jadi viral. Juga tulisan “10 alasan mengapa saya
tidak akan memilih Prabowo” pada pilpres berikutnya.
Saya yakin benar saat itu bahwa memilih Jokowi adalah sebuah
keputusan yang tepat. Baru pertama kali dalam perpolitikan Indonesia ada
seorang calon Presiden yang benar-benar merakyat, jujur, berasal dari rakyat,
bukan dari elite politik maupun kelompok kekuatan besar lain. Ternyata itu saja
tidak cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang efektif.
Menyimak berbagai peristiwa yang terjadi berulang pada periode
2 pemerintahan Jokowi yang belum setahun ini, membuat saya menjadi makin sulit
untuk membela Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi memang merupakan pilihan tepat
sebagai Presiden RI. Tidak berarti bahwa bila waktu diputar kembali ke
belakang, saya akan memilih Prabowo.
Kerja dan diamnya Jokowi pada periode kedua ini memunculkan
berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mulai dari pemilihan para pembantunya
yang tidak tepat dan berkualitas rendah.
Awal kekecewaan saya adalah ketika pada detik-detik terakhir
beliau membatalkan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden yang akan
mendampinginya. Kabinet sekarang adalah kabinet yang tidak sesuai dengan
janjinya yang katanya akan lebih banyak menempatkan menteri-menteri profesional
pada bidangnya.
Posisi kabinet dihadiahkan lebih banyak kepada berbagai
kekuatan partai politik pendukungnya serta mereka yang memiliki senjata.
Kementerian kesehatan, umpamanya, dipimpin oleh seorang dokter tentara yang
oleh IDI sendiri sempat dipertanyakan keprofesionalannya. Beliaulah antara lain
yang menjadi penyebab utama terlambat dan berlarutnya penanganan kasus Pandemi
Covid-19 di negeri ini, ketika negara-negara tetangga kita telah menunjukkan
keberhasilannya.
Saat berbagai negeri sedang sibuk meneliti dan berupaya
mengembangkan vaksin corona, beberapa lembaga dan bahkan sebuah kementerian
memberi kejutan dengan mengumumkan keberhasilan memproduksi obat, bahkan kalung
mujarab untuk penyembuh virus corona. Semua itu diumumkan secara terbuka bahkan
langsung diproduksi dengan kemasan yang menarik, dan presiden kita diam, seakan
merestui hasil hebat “penemuan” itu.
Perencanaan program kartu Pra Kerja yang kurang cermat
berujung pada dugaan pemahalan harga yang nyaris dinikmati oleh perusahaan
milik anak-anak muda yang keburu diangkat sebagai staf pembantu presiden,
bila masyarakat tidak sigap dan segera
berteriak.
Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai
Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak
tersentak. Yang utama adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas
UU KPK.
Meski telah terjadi berbagai protes dan keberatan atas UU
tersebut, Presiden tidak menggubrisnya. Inilah warisan (Legacy) utama yang akan
ditinggalkan Jokowi dalam pelemahan upaya pemberantasan korupsi, bila Mahkamah
Konstitusi nantinya menolak mengabulkan gugatan yang sedang dalam proses.
Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk
menghasilkan berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi
dan masukan dari publik. Ada RUU Omibus yang sedang dalam proses yang sangat
berpihak kepada investor dan nyaris tidak mencerminkan kepentingan rakyat
kecil. Juga banyak UU lain yang lolos yang menguntungkan hanya sponsornya,
seperti UU Minerba yang bahkan telah menimbulkan korban jiwa dari anak mahasiswa
yang demo protes.
Kasus penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK yang
sudah berlarut dibiarkan sejak periode 1, berakhir dengan berita sangat
mengejutkan. Peranan kejaksaan agung yang merupakan bawahan presiden, tidak
mencerminkan tugas sebenarnya sebagai penuntut umum yang mewakili aspirasi
rakyat tetapi lebih mengesankan sebagai pembela “terdakwa”.
Ujungnya, pada kasus besar yang mempunyai implikasi luas
terhadap upaya pemberantasan korupsi ini, terdakwa dihukum sangat ringan. Ada
kesan kuat para pengatur di belakang tindak kriminal ini telah dilindungi
identitasnya.
Belakangan masih ada lagi kasus-kasus yang mengesankan
pembiaran oleh pimpinan tertinggi negeri ini. Kasus menghilangnya Harun Masiku,
fungsionaris PDIP dalam dugaan permainan penggantian antar waktu (PAW) anggota
DPR. Kasus koruptor buron Djoko Tjandra yang dibiarkan melenggang dengan bebas
di ibu kota dan sampai saat tulisan ini diterbitkan belum tertangkap.
Kasus lain yang baru terungkap antara lain adalah bagi-bagi
jatah ekspor benur Lobster oleh menteri kelautan baru yang mengantikan Susi
Pudjiastuti kepada konco-konconya. Inilah menteri baru yang membatalkan
beberapa kebijakan Susi, termasuk penenggelaman kapal kapal asing yang mencuri
ikan di laut kita.
Masih segar dalam ingatan kita ketika presiden pada
pelantikan menjelang jabatan periode keduanya antara lain mengatakan di hadapan
sidang MPR, 20 Oktober 2019: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat
dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi
yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya
copot.”
Belum berselang lama tersebar rekaman pidato presiden pada
sidang kabinet tertutup yang menunjukkan kemarahan beliau terhadap kinerja
menteri-menterinya dan lagi berjanji akan tidak ragu bertindak. Ketika tindakan
presiden dinanti-nanti, Menteri Sekretaris Negara justru membantah dan
menyampaikan tidak ada relevansi antara kegusaran presiden dan rencana kocok
ulang kabinet.
Kejutan terbaru pada saat saya menulis kolom ini adalah
keputusan presiden untuk menugasi Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian,
menggarap lumbung pangan. Alasannya, ketahanan pangan adalah bagian dari
ketahanan nasional.
Bagaimana dengan ketahanan keuangan, telekomunikasi,
pendidikan, dan lain sebagainya? Apakah ini juga bagian dari ketahanan nasional
dan perlu juga ditugaskan ke Menteri Pertahanan?
Semua itu ditambah lagi dengan sikap presiden sebagai seorang
ayah yang menduduki kekuasaan tertinggi di negeri ini, membiarkan putranya yang
masih hijau dan tidak berpengalaman, maju sebagai Calon Walikota Solo. Presiden
tidak berdaya membujuk putranya untuk sabar menanti lima tahun lagi setelah
selesai masa baktinya sehingga tidak ada spekulasi macam-macam keterlibatan
kekuasaan tertinggi negara dalam proses pemilihannya.
Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa
sebenarnya yang sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama
menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan? Bisa saja kita mengatakan bahwa
Jokowi yang bukan petinggi partai apa pun memerlukan segala macam pembiaran
itu. Karena bila tidak, maka rezimnya akan mengalami berbagai kesulitan
melaksanakan berbagai tugas tanpa dukungan kekuatan politik yang nyata.
Tidak sadarkah beliau bahwa masa bulan madu dengan politisi
pendukungnya itu akan berumur tidak lebih lama dari dua tahun dari sekarang
ketika mereka akan ramai-ramai meninggalkan misi presiden dan berkonsentrasi
pada perebutan kekuasaan pada pemilu 2024?
Tidak lama setelah pelantikannya, Presiden Jokowi pernah
mengungkapkan bahwa beliau tidak punya beban lagi. Kami menafsirkannya karena
setelah 2 periode beliau tidak akan maju lagi sebagai presiden.
Pada mulanya orang bernapas lega karena tidak berbeban itu
ditafsirkan sebagai tidak akan dapat disandera oleh kekuatan politik yang
mengusungnya. Kenyataannya, dari berbagai peristiwa yang disebut di atas,
“tidak berbeban” itu tampaknya bukan demikian maknanya, tetapi lebih sebagai
tidak peduli dan bebas dari beban gangguan aspirasi, keberatan, serta protes
dari rakyat pemilihnya.
Sebagai pendukung Jokowi, setelah memperhatikan begitu banyak
kondisi suram yang lepas kendali atau terkesan dibiarkan dalam waktu yang
sangat singkat, bahkan tidak sampai setahun dalam pemerintahan Jokowi periode
dua ini, khususnya kondisi penegakan hukum yang makin memprihatinkan, sulit
bagi saya untuk mengatakan bahwa dukungan saya kepada Presiden Jokowi masih
dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap ini, saya rasakan, juga disuarakan oleh banyak
pendukung lain yang kecewa pada kinerja tahun pertama periode dua Jokowi yang
mencuatkan berbagai kejutan yang menimbulkan kerisauan.
Bila dalam waktu dekat tidak muncul tanda-tanda yang
mengindikasikan langkah-langkah nyata dalam rangka mengoreksi semua itu, maka
akan sangat sulit bagi orang seperti saya dan banyak pendukung lain untuk
bertahan sebagai barisan “pembela” Jokowi.
Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa
dukungan atau penolakan saya dan kawan-kawan punya bobot politik dan pengaruh
terhadap nasib politik Jokowi ke depan. Tanpa kami pun Pak Jokowi bisa jadi
akan sukses besar karena pandangan kami ternyata keliru oleh sebab
ketidakmampuan kami menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Bila demikian, anggap saja tulisan pendek ini sebagai upaya
meringankan beban moral yang saya pikul dan sekaligus sebagai penyalur
unek-unek. Siapa tahu ada gunanya. Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita
semua.***