(Picture of the week!)
Oleh: Hersubeno Arief
SANCANEWS.COM - Foto Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh
berpelukan erat dengan Presiden PKS M Sohibul Iman, layak dinobatkan sebagai “Foto pilihan pekan
ini.”
Foto keduanya dalam pose
berpelukan ala teletubbies, beredar
secara cepat di medsos. Lengkap dengan berbagai komentar.
Komentar yang muncul kebanyakan
mengundang senyum. Ada juga yang membuat meme.
Foto itu disandingkan dengan foto
Prabowo sedang berwelfie ria bersama
Megawati dan Puan Maharani. Captionnya: Cinta yang tertukar!
Secara visual, foto yang diabadikan ketika Surya Paloh
berkunjung ke kantor DPP PKS itu memang sangat kuat. Apalagi tafsir politiknya.
Jauh lebih menarik dan multi tafsir.
PKS adalah satu-satunya partai
yang sejak awal menyatakan oposisi terhadap Jokowi. Sementara Nasdem partai
pendukung Jokowi yang berkali-kali menyatakan siap menjadi oposisi. Walau
akhirnya tetap masuk kabinet, dan menempatkan tiga orang menteri.
Dari sisi posisioning, secara
politis keduanya berada dalam kubu berseberangan. Sebelumnya sulit membayangkan
mereka akan berpeluk-ria, apalagi sampai membuat beberapa kesepakatan.
Tapi itulah fenomena politik
kontemporer Indonesia. Tempat adagium bahwa politik sebagai the art of
possibility benar-benar diterapkan.
Kemungkinannya bahkan jauh
melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Beyond our imagination.
Prabowo saja bisa masuk kabinet
Jokowi dan menjadi Menhan. Mengapa pula Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa
berpeluk-mesra dan membuat blok baru oposisi?
(Gak perlu baper)
Pertemuan antara Surya Paloh dan
Sohibul Iman ini kian menyadarkan kita,
jangan terlalu baper dalam melihat politik Indonesia. Ojo kagetan. Ojo
gumunan.
Dengan begitu kita tidak perlu kaget,
marah, apalagi sakit hati ketika tiba-tiba tokoh atau partai yang kita dukung
berubah haluan di tengah jalan.
Woles saja. Namanya juga
politisi.
Mari kita simak beberapa fakta
dan fenomena berikut ini:
Pertama, batas antara penguasa
dan oposisi sangat kabur. Bisa saja oposisi kemudian bergabung dengan penguasa.
Sebaliknya yang berada dalam
pemerintahan karena kepentingannya kurang/tidak
terakomodasi, berancang-ancang
menjadi oposisi.
Kedua, karena adanya kepentingan
yang sama, pemerintah dan oposisi bisa saling bahu membahu dan saling
mendukung. Tidak peduli suara pemilih, suara rakyat.
Pengesahan UU KPK adalah contoh
nyata. Semua fraksi di DPR sepakat mendukung,
kendati mendapat perlawanan keras dari masyarakat, mahasiswa dan
pelajar.
Imbalannya semua fraksi mendapat
jatah kursi wakil ketua MPR, termasuk PKS. Caranya dengan mengubah Pasal 15 UU
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Ketiga, kabinet besar dan gemuk
Jokowi berpotensi pecah di tengah jalan.
Kabinet yang dimaksudkan membuat
semua happy, “disini senang, disana senang,” berubah menjadi “disini senang,
disana berang.”
Banyak yang tidak puas dengan
pembagian jatah kursi di kabinet. Nasdem sudah menyatakan secara terbuka.
Mereka keberatan dengan masuknya Gerindra, apalagi mendapat pos penting sebagai
Menhan.
Keempat, Jokowi tampaknya harus
sudah bersiap-siap menghadapi oposisi yang cukup kuat di DPR, termasuk dari
partai pengusungnya.
Nasdem sudah mengisyaratkan
kemungkinan akan menjalin kerjasama dengan PKS di DPR. PDIP juga tampaknya
tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Apalagi Luhut Panjaitan
ternyata masih berperan besar di pemerintahan.
Bukan tidak mungkin PDIP juga
akan menjadi oposisi terhadap beberapa kebijakan pemerintah.
Oposisi di DPR akan kian besar
dengan tidak diakomodasinya PAN dan Demokrat di kabinet.
Kelima, tiga tahun, atau paling
lambat dua tahun jelang Pemilu 2024 sudah mulai terbentuk konfigurasi kekuatan
politik baru.
Parpol pendukung Jokowi bisa
bubar jalan, atau setidaknya mulai mencari jagoan masing-masing.
Pertemuan PKS dan Nasdem bisa
menjadi indikator mulai terbentuknya embrio baru koalisi parpol pada Pilpres
2024.
Pertemuan ini bisa dilihat
sebagai sebuah lanjutan dari pertemuan
Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu.
Waktu dan kepentingan politik
akan menentukan apakah kemesraan ala teletubbies itu berlanjut sampai 2024,
atau hanya manuver sesaat.
Publik pasti belum lupa bagaimana
Prabowo dan Surya Paloh juga baku rangkul menjelang pembentukan kabinet.
Saat itu Surya menyatakan
kepentingan negara di atas kepentingan parpol. Ternyata Nasdem menyabot kursi
Menteri Pertanian yang sudah lama diincar Gerindra.
Sebaliknya Gerindra yang mematok
harga mati kursi Mentan, tetap bersedia masuk kabinet dengan kompensasi kursi
Menteri Kelautan dan Perikanan. end
# GR-Group UAH
# GR-Group UAH