JAKARTA, SANCA NEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi memiliki pimpinan baru. Lima pimpinan baru itu ialah Irjen Firli Bahuri selaku ketua, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata sebagai wakil ketua.
Lima orang itu dipilih Komisi III DPR di tengah munculnya isu pelemahan KPK.
Sejak awal, proses seleksi kerap mendapat kritik dari masyarakat
lantaran Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK dinilai publik tak
transparan dalam memilih nama-nama untuk disodorkan ke Presiden Joko
Widodo.
Sebelum Presiden menyodorkan 10 nama calon pimpinan KPK, publik
ramai-ramai menolak. Sebab, beberapa nama dinilai publik cacat
integritas.
Irjen Firli, misalnya, dituding terlibat pelanggaran etik karena
pertemuannya dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi
(MZM) pada 12-13 Mei 2018.
Saat itu, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT
Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. Kala itu, Firli
menjabat deputi penindakan di KPK.
Firli juga ditolak oleh sejumlah pegawai KPK untuk memimpin lembaga antikorupsi itu.
Sedikitnya ada 500 pegawai KPK yang disebut menolak Firli menjadi pimpinan KPK periode mendatang.
Hal itu disampaikan oleh pegiat antikorupsi Saor Siagian dalam diskusi di KPK, Rabu (28/8/2019).
Menurut dia, penolakan itu adalah peringatan bagi Panitia Seleksi
Capim KPK agar selektif dalam menyaring sepuluh nama capim KPK yang akan
diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Saya bayangkan saya bisa suarakan ini bukan hanya 200 tapi 500.
Barangkali ini pesan kepada pansel apakah dia akan memilih orang yang
akan ditolak, ya terserah. Tapi itulah peran-peran yang bisa kami
lakukan sebagai publik," kata Saor.
Pegawai KPK membawa bunga
dan poster untuk dibagikan kepada warga pada melakukan aksi saat Hari Bebas
Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (8/9). Aksi tersebut
untuk menolak revisi UU KPK yang dianggap melemahkan kewenangan lembaga anti
rasuah itu.
Sejalan Revisi UU KPK
Pegawai KPK membawa bunga
dan poster untuk dibagikan kepada warga pada melakukan aksi saat Hari Bebas
Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (8/9). Aksi tersebut
untuk menolak revisi UU KPK yang dianggap melemahkan kewenangan lembaga anti
rasuah itu.
|
Pemilihan pimpinan KPK juga berbarengan dengan rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Muncul dugaan pemilihan pimpinan KPK oleh DPR sekaligus untuk
memperlancar revisi Undang-Undang KPK, yang isinya sarat dengan
pengebirian kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.
Sebab, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, Komisi III ingin
seluruh calon pimpinan KPK konsisten antara visi misi yang diungkapkan
dalam fit and proper test dan yang akan dilakukan ketika sudah dilantik menjadi pimpinan KPK nanti.
Oleh karena itu Komisi III menyodorkan surat tersebut.
"Kami tidak mau lagi ketika di fit and proper test
(misalnya) bilang setuju (revisi UU KPK), bahkan di awal masa jabatan
bilang setuju. Tapi begitu menggelinding menjadi isu yang mendapatkan pressure
dari publik dan ingin populer atau tidak ingin kehilangan popularitas,
kemudian malah berbalik enggak setuju," ujar Arsul Sani di Kompleks
Parlemen, Senin (9/9).
Oleh sebab itu, apabila pada saat fit and proper test
dimulai para wakil rakyat bertanya mengenai revisi UU KPK, Arsul meminta
para capim KPK mengemukakan pendapatnya secara lantang dan lugas.
Jika setuju, katakan setuju. Demikian pula sebaliknya. Jawaban itu
akan dikunci dalam surat bermeterai yang akan ditandatangani mereka
sendiri.
Kendati demikian, Arsul menyatakan, setuju atau tidak setujunya calon
pimpinan KPK terhadap revisi UU KPK bukan menjadi pertimbangan dominan
seorang capim lolos fit and proper test atau tidak.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Capim KPK berpandangan,
sejumlah pertanyaan yang diberikan cenderung terkait dengan kepentingan
DPR dalam meloloskan revisi UU KPK.
"Dari pantauan koalisi, aspek integritas dan rekam jejak setiap calon
tidak banyak digali lebih jauh oleh anggota Komisi III," ujar Tibiko
Zabar, salah satu anggota koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW),
melalui keterangan tertulis, Kamis (12/9).
"Justru yang terjadi hampir semua calon diberikan pertanyaan terkait keberpihakan terhadap revisi UU KPK," kata Tibiko.
Setiap capim KPK ditanya sikapnya soal poin apa yang disetujui dan tidak disetujui dalam draf revisi.
"Koalisi mencatat bahwa anggota Komisi III lebih banyak mengajukan
pertanyaan yang seolah mengunci berkaitan dengan sikap setiap calon
apakah setuju dengan revisi UU KPK. Sementara aspek integritas tidak
banyak dielaborasi lebih jauh," kata Tibiko.
Pertanyaan lain yang diajukan terkait revisi UU KPK ialah status kepegawaian, konflik internal, dan independensi lembaga KPK.
Dalam hal kelembagaan, Komisi III banyak menanyakan persoalan independensi secara kelembagaan ataupun tindakan KPK.
Hal ini disinyalir untuk mengarahkan lembaga KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif.
Di sisi lain, sejumlah capim malah menyoroti kinerja KPK selama ini yang dinilai buruk atau tidak maksimal.
Hampir seluruh capim juga mengedepankan aspek pencegahan korupsi jika terpilih sebagai pimpinan KPK.
Sementara koalisi berpandangan konsep penindakan dan pencegahan yang
dipaparkan para capim masih minim inovasi dan gagasan baru terkait
semangat pemberantasan korupsi.
"Seharusnya aspek inilah yang
perlu dielaborasi oleh capim KPK terkait dengan visi dan misi serta
terobosan mereka terpilih sebagai pimpinan KPK," ucap Tibiko. (Sanca).