Presiden Republik Indonesia Ke-3 Prof. Dr. Ing. H Bacharuddin Jusuf Habibie |
JAKARTA,
SANCA NEWS.COM - Presiden RI ke-3, Bacharuddin
Jusuf Habibie (BJ Habibie) meninggal dunia, pada pukul 18.05 Wib di RSPAD Gatot
Soebroto, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).
Sebelumnya,
kondisi kesehatan BJ Habibie yang dirawat intensif di Rumah Sakit Pusat TNI
Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, pada Rabu dini hari sempat
stabil.
"Kondisi
bapak sudah stabil," kata anak kedua BJ Habibie, Thareq Kemal Habibie ketika
ditemui wartawan di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto, Rabu (11/9) dini
hari.
Hanya,
Thareq yang kala itu keluar dari gedung Paviliun Kartika enggan berbicara
banyak terkait kondisi kesehatan ayahnya tersebut.
Thareq
yang didampingi oleh keluarganya pun sambil berjalan berbicara tentang kondisi
kesehatan Habibie.
"Dua
hari lagi ya," singkatnya.
Pantauan
Awak Media, Rabu pukul 18.21 WIB, jenazah BJ Habibie masih berada
di RSPAD Gatot Soebroto.
Perjalanan
Habibie
Prof
Dr Ing H Bacharuddin Jusuf Habibie FREng lahir di Parepare, Sulawesi Selatan,
25 Juni 1936. Ia meninggal di Jakarta, 11 September 2019, pada umur 83 tahun.
Dia
adalah Presiden Republik ketiga Indonesia. Sebelumnya, BJ Habibie menjabat
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-7, menggantikan Try Sutrisno.
BJ
Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada
tanggal 21 Mei 1998.
BJ
Habibie kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gusdur yang terpilih
sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999.
Dengan
menjabat selama 2 bulan dan 7 hari (sebagai wakil presiden) dan juga selama 1
tahun dan 5 bulan (sebagai presiden), BJ Habibie merupakan Wakil Presiden dan
juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek.
Dari
sekian banyak presiden Indonesia, sementara ini, B J Habibie merupakan
satu-satunya presiden yang berasal dari etnis Gorontalo, Sulawesi dari garis
keturunan Ayahnya yang berasal dari Kabila, Gorontalo dan etnis Jawa dari
ibunya yang berasal dari Yogyakarta.
Saat
ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menginisiasi dibangunnya Monumen BJ
Habibie di depan pintu gerbang utama Bandar Udara Djalaluddin, di Kabupaten
Gorontalo.
Selain
itu, masyarakat Provinsi Gorontalo pun sempat mengusulkan nama BJ Habibie
digunakan sebagai nama universitas negeri setempat, menggantikan nama
Universitas Negeri Gorontalo yang masih digunakan.
Sejarah
Keluarga
BJ
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul
Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo.
Ayahnya
yang berprofesi sebagai ahli pertanian, berasal dari etnis Gorontalo, sedangkan
ibunya dari etnis Jawa.
Alwi
Abdul Jalil Habibie (ayah dari BJ Habibie) memiliki marga "Habibie",
salah satu marga asli dalam struktur sosial Pohala'a (Kerajaan dan
Kekeluargaan) di Gorontalo.
Sementara
itu, RA Tuti Marini Puspowardojo (Ibu dari BJ Habibie) merupakan anak seorang
dokter spesialis mata di Jogjakarta, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo
bertugas sebagai pemilik sekolah.
Marga
Habibie dicatat secara historis berasal dari wilayah Kabila, sebuah daerah di
Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Dari silsilah keluarga, kakek dari
BJ Habibie merupakan seorang pemuka agama, anggota majelis peradilan agama
serta salah satu pemangku adat Gorontalo yang tersohor pada saat itu.
Keluarga
besar Habibie di Gorontalo terkenal gemar beternak sapi, memiliki kuda dalam
jumlah yang banyak, serta memiliki perkebunan kopi.
Sewaktu
kecil, Habibie pernah berkunjung ke Gorontalo untuk mengikuti proses khitanan
dan upacara adat yang dilakukan sesuai syariat islam dan adat istiadat
Gorontalo.
Kisah Cinta
Pada awalnya, kisah cinta antara Habibie dan Ainun bermula sejak masih remaja, ketika keduanya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Namun, keduanya baru saling memperhatikan ketika sama-sama bersekolah di SMA Kristen Dago Bandung, Jawa Barat.
Komunikasi mereka akhirnya terputus setelah Habibie melanjutkan kuliah dan bekerja di Jerman, sementara Ainun tetap di Indonesia dan berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
BJ Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung. Akad nikah Habibie dan Ainun digelar secara adat dan budaya Jawa, sedangkan resepsi pernikahan digelar keesokan harinya dengan adat dan budaya Gorontalo di Hotel Preanger.
Pada awalnya, kisah cinta antara Habibie dan Ainun bermula sejak masih remaja, ketika keduanya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Namun, keduanya baru saling memperhatikan ketika sama-sama bersekolah di SMA Kristen Dago Bandung, Jawa Barat.
Komunikasi mereka akhirnya terputus setelah Habibie melanjutkan kuliah dan bekerja di Jerman, sementara Ainun tetap di Indonesia dan berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
BJ Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung. Akad nikah Habibie dan Ainun digelar secara adat dan budaya Jawa, sedangkan resepsi pernikahan digelar keesokan harinya dengan adat dan budaya Gorontalo di Hotel Preanger.
Ketika menikah dengan Habibie, Ainun
dihadapkan dengan dua pilihan, memilih untuk tetap bekerja di rumah sakit
anak-anak di Hamburg atau berperan serta berkarya di belakang layar sebagai
istri dan ibu rumah tangga.
Setelah berdiskusi dengan Habibie, Ainun pun akhirnya memilih opsi yang kedua. Dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Pendidikan dan Karier
BJ Habibie pernah menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago. Habibie kemudian belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954.
Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.
Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Soeharto.
Habibie kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998.
Gebrakan BJ Habibie saat menjabat Menristek diawalinya dengan keinginannya untuk mengimplementasikan "Visi Indonesia".
Menurut Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam "Visi Indonesia" bertumpu pada riset dan teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikelola oleh PT. IPTN, PINDAD, dan PT. PAL.
Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara Industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, ketika menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pertama. Habibie terpilih secara aklamasi menjadi Ketua ICMI pada tanggal 7 Desember 1990.
Puncak karir Habibie terjadi pada tahun 1998, dimana saat itu ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden ke-7 (menjabat sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto. (Dkn).
Setelah berdiskusi dengan Habibie, Ainun pun akhirnya memilih opsi yang kedua. Dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Pendidikan dan Karier
BJ Habibie pernah menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago. Habibie kemudian belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954.
Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.
Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Soeharto.
Habibie kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998.
Gebrakan BJ Habibie saat menjabat Menristek diawalinya dengan keinginannya untuk mengimplementasikan "Visi Indonesia".
Menurut Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam "Visi Indonesia" bertumpu pada riset dan teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikelola oleh PT. IPTN, PINDAD, dan PT. PAL.
Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara Industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, ketika menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pertama. Habibie terpilih secara aklamasi menjadi Ketua ICMI pada tanggal 7 Desember 1990.
Puncak karir Habibie terjadi pada tahun 1998, dimana saat itu ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden ke-7 (menjabat sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto. (Dkn).