JAKARTA, SANCA NEWS.COM - Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (5/9) menyepakati Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. Rencana revisi UU KPK itu pun menjadi usul inisiatif DPR untuk diminta persetujuan pemerintah.
Tak
ada penyampaian pandangan masing-masing fraksi secara terbuka dalam
sidang paripurna tersebut. Kesepakatan diambil setelah juru bicara dari
10 fraksi yang duduk di Senayan menyampaikan pendapat secara tertulis ke
meja Pimpinan DPR.
Dari keseluruhan 70 Pasal, terdapat satu poin mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.
Anggota Dewan Pengawas terdiri dari lima orang yang dipilih dengan
mekanisme Panitia Seleksi (Pansel), Presiden, dan ditetapkan DPR. Dalam
draf RUU tersebut diketahui bahwa Dewan Pengawas dibentuk dalam rangka
mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Lembaga nonstruktural yang
dalam menjalankan tugasnya ini bersifat mandiri.
Tugas dari
Dewan Pengawas seperti tercantum pada Pasal 37B RUU KPK ialah memberi
izin atau tidak terkait penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK;
menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik. Kemudian melakukan
evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala satu kali
dalam satu tahun; menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat
mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai
KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang tersebut.
Lalu Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala dan disampaikan kepada Presiden serta DPR.
Gelombang penolakan revisi UU KPK meluas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai RUU KPK yang di dalamnya
mengatur segala tugas dan wewenang Dewan Pengawas sebetulnya memiliki
niat dengan tujuan untuk mengontrol KPK.
Dalam tatanan tata
negara, kata dia, sebagai lembaga independen maka KPK sebetulnya sudah
memiliki pengawasnya sendiri yakni rakyat dan perwakilannya yang berada
di DPR.
"Karena itu, ciri dari lembaga independen seperti KPK itu
pengawasannya langsung dari rakyat, secara sosial-politik. DPR juga
masih bisa mengawasi tapi kan tidak bisa intervensi kasus. Jadi, dia
bisa ada kontrol administratif, anggaran, dan sebagainya," tutur Refly
saat dihubungi awak media melalui sambungan telepon, Senin (9/9).
Menurut dia, tidak sepatutnya dibentuk pengawas untuk KPK. Sebab, KPK juga sudah dikontrol dengan mekanisme pengadilan.
"Sekarang
saat ini menurut saya KPK sudah sibuk sekali ketika praperadilan
diperbolehkan, karena hampir semua penetapan tersangka
dipraperadilankan. Dan orang-orang tertentu; orang-orang kuat bisa
memenangkan itu. Ya, kan?," imbuhnya.
"Nah, sementara kalau dia
sembarangan tanpa bukti yang kuat ini akan keteter di pengadilan tipikor
nanti. Apalagi kita tahu bahwa kalau sudah tidak adanya Artidjo
Alkostar di MA itu orang semakin berani mengajukan kasasi dan PK,"
sambungnya.
Di satu sisi, Refly tak bisa menampik kecurigaan bahwa
pembentukan Dewan Pengawas berkelindan erat dengan tindakan korupsi
yang masih bersarang di tubuh DPR.
Apalagi, terdapat kasus menahun
yang masih berjalan di KPK yang dalam fakta persidangan menyeret
sejumlah nama anggota DPR seperti korupsi mega proyek e-KTP elektronik
(e-KTP). Kasus tersebut terjadi pada 2011 silam, sementara dalam draf
RUU KPK disebutkan bahwa KPK dibatasi waktu satu tahun untuk menangani
suatu perkara dan berwenang menerbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3).
"Ya, memang sudah menjadi rahasia umum.
Jangankan itu, DPR lebih dari itu. Yang mereka mau KPK bubar. Dulu kan
sebelum ini 2-3 tahun yang lalu ada RUU yang membatasi nasib KPK cuma 12
tahun ke depan," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Mahkamah
Konstitusi (MK) dan staf ahli presiden dalam bidang hukum.
"Lalu
kemudian yang namanya pengungkapan kasus yang Rp5 miliar ke atas, kan
gitu. Kalau itu dipraktikkan, 'o ngga ada lagi gunanya KPK',"
sambungnya.
Berdasarkan catatan KPK, hingga Juni 2019 pejabat
publik terbanyak yang tersandung ke dalam pusaran korupsi dan pencucian
uang adalah Anggota DPR dan DPRD dengan 255 perkara. Disusul kepala
daerah berjumlah 110 perkara.
"Padahal niatnya adalah untuk mengontrol KPK, baik langsung maupun tidak langsung," katanya.
Oleh
karena itu, Refly menilai KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini sedang menghadapi ujian yang berat. Bukan hanya RUU KPK, proses
seleksi calon pimpinan KPK yang tengah berlangsung pun menambah daftar
ujian tersebut.
Salah satu suasana di ruang rapat Paripurna DPR RI. (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra) |
Agak sedikit berbeda dengan Refly, pakar hukum tata negara Syamsuddin
Radjab justru setuju dengan rencana hadirnya dewan pengawas KPK. Tapi,
sambungnya, dengan catatan tak memiliki tugas dan wewenang yang
termaktub dalam draf RUU KPK saat ini. Tugas dan wewenang Dewan Pengawas
yang tercantum dalam RUU KPK saat ini, katanya, sudah seharusnya
ditolak.
"Terkait Dewan Pengawas KPK poinnya menurut saya
dibutuhkan dengan fungsi untuk mempercepat laju pemberantasan tipikor.
Bukan menjadi penghambat pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Dan tentu
saja mengawasi hal-hal yang bersifat etik moral," kata pengajar ilmu
hukum di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Syamsuddin
mengatakan setidaknya ada sejumlah masalah terkait pembentukan Dewan
Pengawas dalam draf RUU tersebut. Seperti kedudukan Dewan Pengawas yang
nonstruktural atau bersifat mandiri sampai penyadapan yang harus
mendapat izin Dewan Pengawas.
"Dewan Pengawas dalam rumusan norma DPR itu melakukan perluasan kewenangan," ucapnya.
Kesimpulan
tersebut mengacu pada fungsi Dewan Pengawas yang berada di atas
komisioner KPK. Dalam hal ini terkait pemberian izin atau tidak mengenai
penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Menurutnya tiga tindakan
tersebut merupakan ranah penyidik lembaga antirasuah atas persetujuan
Pimpinan KPK.
Selain itu juga terhadap tindak lanjut mengenai
laporan dari masyarakat perihal dugaan pelanggaran kode etik oleh
Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang
tersebut. Terkait permasalahan etik, ia mengatakan KPK sebenarnya
memiliki Direktorat Pengawasan Internal (PI). Termutakhir, divisi itu
memproses dugaan pelanggaran etik Deputi Penindakan KPK Irjen Firli
Bahuri karena telah bertemu Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul
Majdi. Padahal, lembaga antirasuah itu sedang menyelidiki dugaan kasus
divestasi saham PT Newmont yang menyeret TGB.
Namun, proses
pemeriksaan terhenti lantaran Firli ditarik lembaga asalnya yakni
Kepolisian RI untuk mengisi kursi Kapolda Sumatera Selatan. Firli
sendiri saat ini ikut dalam proses seleksi capim KPK, dan masuk 10 besar
untuk dipilih di DPR.
Koalisi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik menutup lambang KPK dengan kain hitam di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 8 September 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Hampir serupa, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar pun mengungkapkan
substansi RUU KPK tidak logis dan malah melemahkan kedudukan lembaga
antirasuah itu. Menurut pengajar di Universitas Trisakti tersebut,
eksistensi KPK sebagai lembaga independen bisa terhapus oleh sejumlah
perubahan yang diusulkan ke dalam UU KPK itu.
Menurutnya dalih
menguatkan KPK yang 'nyaring' dibunyikan legislator hanya sebatas alibi
untuk 'menggergaji' independensi dan eksistensi gerakan pemberantasan
korupsi.
"Korupsi tidak punya lagi oposisi karena ternyata musang berbulu demokrasi," ujarnya.
Atas dasar itu, Fickar mengultimatum Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) agar tegas menolak RUU tersebut.
"Jangan main-main dengan aspirasi masyarakat, pasti akan ada akibat sosiologi dan yuridisnya," kata Abdul Fickar. (Sanca)
Kutipan dari CNNIndonesia