Ketua Presedium FPII Kasih Hati |
JAKARTA, SANCA NEWS.COM - Ketua Presidium Forum Pers Indonesia Independen (FPII),
Kasihhati segera menanggapi pernyataan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Mohammad
Nuh, yang beredar di berbagai media online, bahwa perusahaan pers yang sudah
memiliki legalitas hukum seperti akta pendirian PT dan SIUP
dianggap tidak cukup, sehingga mereka harus mendapatkan izin tambahan dari
Dewan Pers dengan menggunakan analogi seperti pengembang perumahan, meskipun
mereka sudah memiliki izin untuk membangun gedung atau IMB (izin dari Dewan Pers).
"Apa mata Muhammad Nuh tidak melihat bahwa pada tahun 2017 kita sudah melakukan aksi (lihat youtube,aksi 203 fpii dan aksi 134 fpii) yang dilakukan FPII saat menyikapi hal-hal yang terkait dengan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap wartawan,” ungkapnya dengan keras.
"Dan belum lagi produk Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelontorkan serta memakan biaya Rp 1,5 – 3 juta per orang, sudah berapa rupiah kah total yang telah diraup, dan kemana anggaran puluhan bahkan ratusan juta hingga milyaran rupiah yang dikucurkan oleh Pemerintah tiap tahun untuk DP,” tanya Kasihhati.
"Ini adalah sesuatu yang harus dipertanyakan dan diduga tingkat pendidikan Ketua Dewan Pers. Alih-alih mencoba menyatukan perbedaan pandangan, tetapi malah memecah. Apa ini yang disebut Ketua," sebut Ketua Presidium FPII.
Ketika melakukan Verifikasi Faktual di beberapa media di
Makassar baru-baru ini, M. Nuh menyamakan bahwa perusahaan pers seperti
keluarga. Jadi mereka yang belum mendaftar harus mendaftar, untuk masuk
keluarga, karena menurutnya, jika ada anak di luar nikah, mereka harus
terdaftar sehingga mereka juga bisa mewarisi.
Menanggapi pernyataan itu, Kasihhati berasumsi bahwa Ketua
Dewan Pers tidak memahami sejarah Pers yang sebenarnya dan tidak memahami
Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999
"Pernyataan
itu membuktikan bahwa Ketua Dewan Pers adalah pengkhianat di antara pejuang
pers berdarah untuk memperjuangkan kebebasan pers di negara ini," kata
Kasihhati.
Menurutnya,
pernyataan itu juga membuktikan bahwa M. Nuh, tidak memahami UUD 1945 dan
Pancasila. "Bagaimana dengan Muhammad Nuh, jika dia tidak mengerti tentang
dunia pers dan UU Pers, jika dia tidak mengerti tentang pers di seluruh
Indonesia, wajar saja kalau sikapnya untuk menjadi diktator dan sok berkuasa mengalahkan kekuatan dari Allah SWT," tambahnya.
Lebih
jauh, Ketua Presidium FPII mengatakan dia tidak mengerti tokoh-tokoh
berpendidikan tinggi seperti Muhammad Nuh, yang bisa membuat kebijakan sepihak
yang melanggar Pers dan Hukum Hak Asasi Manusia.
"Muhammad
Nuh dan anggota Dewan Pers harus memahami dengan baik tentang UU Pers dan UUD
1945, agar tidak membuat kebijakan yang aneh dan acak," tandas Kasihhati.
Kasihhati
juga mengimbau Dewan Pers untuk tidak membuat pernyataan atau melakukan
peredaran yang dapat mengganggu kegiatan pers dan tidak secara sewenang-wenang
menuduh perusahaan pers yang tidak diverifikasi oleh Dewan Pers dan wartawan
yang tidak berpartisipasi dalam UKW disebut ilegal, karena semuanya dilindungi
oleh Hukum dan Negara.
"Apa mata Muhammad Nuh tidak melihat bahwa pada tahun 2017 kita sudah melakukan aksi (lihat youtube,aksi 203 fpii dan aksi 134 fpii) yang dilakukan FPII saat menyikapi hal-hal yang terkait dengan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap wartawan,” ungkapnya dengan keras.
Lebih
lanjut, Kasihhati mengatakan bahwa pernyataan itu adalah bentuk pengungkapan
diri terhadap 'KEGAGALAN' Dewan Pers dalam membina wartawan dan media yang
berkembang pesat sekarang.
"Dan belum lagi produk Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelontorkan serta memakan biaya Rp 1,5 – 3 juta per orang, sudah berapa rupiah kah total yang telah diraup, dan kemana anggaran puluhan bahkan ratusan juta hingga milyaran rupiah yang dikucurkan oleh Pemerintah tiap tahun untuk DP,” tanya Kasihhati.
Kasihhati
menegaskan, Ketua Dewan Pers saat ini menganggap bahwa dia adalah
"PENGUASA" di dunia Pers dan telah lepas kendali seolah-olah
PENGADILAN yang telah memutuskan hukuman bagi mereka yang dihukum.
"Ini adalah sesuatu yang harus dipertanyakan dan diduga tingkat pendidikan Ketua Dewan Pers. Alih-alih mencoba menyatukan perbedaan pandangan, tetapi malah memecah. Apa ini yang disebut Ketua," sebut Ketua Presidium FPII.
Kasihhati juga mengingatkan semua Manajemen dan Anggota FPII
di seluruh Indonesia untuk terus memperjuangkan kebebasan pers yang
sesungguhnya dan untuk melaksanakan liputan sesuai dengan aturan dan kode etik
jurnalistik yang baik. (FPII / SANCA)