JAKARTA, SANCA NEWS.COM -
Keinginan Kepolisian RI (Polri) mengirim perwakilannya untuk menjadi pemimpin
Komisi Pemberantasan Korupsi perlu dicermati. Masuknya unsur Polri di KPK tidak
serta-merta menambah efektivitas pemberantasan korupsi. Apalagi dua di antara
sembilan calon, yakni Inspektur Jenderal Antam Novambar dan Inspektur Jenderal
Dharma Pongrekum, diduga bermasalah dengan terlibat pada saat KPK tengah
menyidik dugaan korupsi di tubuh Polri.
Walaupun Panitia Seleksi Calon
Pimpinan KPK dan Kepala Polri mengatakan proses seleksi akan berjalan
nir-kepentingan, klaim ini sangat problematik. Memang betul Polri bersama
kejaksaan memiliki kontribusi besar dalam perjalanan KPK. Namun lembaga
antirasuah ini justru dibentuk karena aparat penegak hukum konvensional gagal
memberantas korupsi. Mendorong personel penegak hukum lain masuk KPK sama saja
dengan menentang tujuan pembentukan KPK itu sendiri.
Alih-alih dapat terbangun manajemen
koreksi yang efektif, perjalanan 15 tahun KPK lebih sering dipertaruhkan akibat
adu kredibilitas dengan Polri. Kita masih ingat betul bagaimana hubungan panas
penyidik KPK dengan pejabat tinggi Polri dalam tiga jilid "cicak versus
buaya". Ini juga dianggap berkolerasi dengan minimnya pengusutan korupsi
di tubuh Korps Bhayangkara.
Sejak berdiri hingga kini, KPK hanya
menangani dua kasus yang melibatkan polisi. Padahal, dari berbagai hasil survei,
kepercayaan publik terhadap kepolisian dinilai buruk. Survei Global Corruption
Barometer 2017 menunjukkan bahwa institusi Polri dipandang rawan suap dan
korupsi, walaupun turun peringkatnya dibanding hasil survei pada 2015. ICW dan
LSI (2018) juga menyebut Polri paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam
pelayanan birokrasi.
Secara historis, kehadiran figur
Polri menjadi pemimpin dan pejabat di KPK juga dirasa tidak memuaskan, baik
dari Taufiequrachman Ruki, Bibit Samad Rianto, maupun hingga kini Basaria
Pandjaitan. Hingga saat ini pun, KPK belum menyelesaikan 18 kasus megakorupsi.
Kasus-kasus ini diduga mandek karena adanya upaya penghambatan yang datang dari
pejabat Polri di lingkup internal KPK.
Belum lagi jika kita berbicara
perihal investigasi kasus Novel Baswedan yang tak kunjung usai setelah dua
tahun lamanya. Riset Transparency International (2017) yang mengukur performa
KPK juga menunjukkan kelemahan pada dimensi independensi.
Selain itu, hadirnya dua unsur
penegak hukum aktif di satu institusi akan memunculkan potensi konflik
kepentingan. Agaknya sulit membayangkan jika pemimpin yang berasal dari Polri
mau menangani dan menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan institusi asalnya.
Ia akan terjegal beban moral korps dan loyalitas ganda.
Saat ini, negara-negara lain justru
tengah bersemangat membentuk lembaga atau unit antirasuah yang bebas dari unsur
penegak hukum lain. Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau), Swedia
(National Anti-Corruption Unit), dan Norwegia (Okokrim)-yang menempati
peringkat 10 besar dalam Indeks Persepsi Korupsi 2018-adalah negara-negara
dengan lembaga antikorupsi yang ketergantungannya terhadap lembaga penegak
hukum lain sangat minim. Bahkan lembaga antikorupsi di negara-negara seperti
Inggris (Serious Fraud Office) dan Hong Kong (Independent Commission against
Corruption) telah dipimpin oleh orang yang betul-betul bebas kepentingan.
Arus serupa juga terjadi di
negara-negara di ASEAN. Dari sembilan negara yang masuk dalam Parlemen Asia
Tenggara Melawan Korupsi (SEAPAC), lembaga antikorupsi independen di tujuh
negara dipimpin oleh unsur yang independen pula. Kamboja menjadi contoh
menarik. Unit anti-korupsi di sana diduga mendukung misi politik Partai Rakyat
Kamboja, partai penguasa yang dipimpin Perdana Menteri Hun Sen, tapi, karena
diisi unsur yang independen, ia tetap dapat bekerja, termasuk menangkap
berbagai pejabat dari unsur partai.
Berbeda halnya dengan di Thailand
dan Vietnam. Walaupun dibentuk secara independen, National Anti-Corruption Commission
(NACC) Thailand dipimpin oleh jenderal polisi aktif. Sejak kudeta militer, NACC
hanya menuntaskan satu kasus, yakni investigasi kasus korupsi mantan perdana
menteri Yingluck Shinawatra. Badan Inspektorat di Vietnam juga mandek karena
berada dalam struktur pemerintahan.
Kualitas utama dari sebuah lembaga
antikorupsi adalah independensi. Maka, pandangan Panitia Seleksi Calon Pimpinan
KPK, yang menilai kehadiran unsur Polri di KPK dapat memudahkan koordinasi
kelembagaan, patut dipertanyakan.
Para perwira tinggi kepolisian yang ingin
menjadi pemimpin KPK harus berani mengundurkan diri jika terpilih. Selain
mempersempit potensi konflik kepentingan, ini akan menjadi preseden baik bagi
publik bahwa kepentingan pemberantasan korupsi berada di atas kepentingan
korps.