Gedung KPK |
JAKARTA, SANCA NEWS.COM - Pada Kamis lalu Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) resmi mengumumkan nama-nama dari para pendaftar yang dinyatakan lolos seleksi administrasi. Dari 376 orang pendaftar, diketahui sebanyak 192 orang dinyatakan berhak untuk mengikuti tahapan seleksi selanjutnya.
Berikutnya mereka akan mengikuti tes uji kompetensi yang meliputi objective test dan penulisan makalah pada tanggal 18 Juli 2019 mendatang.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang terdiri dari ICW, YLBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, MaPPI FH UI, Perludem, LBH Pers, SPAK, ILR, dan LBH Jakarta memberikan catatan terhadap rilis nama-nama tersebut. Menurut Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, amat disayangkan rilis nama-nama yang lolos ke tahap selanjutnya tersebut tidak diikuti dengan keterangan latar belakang pekerjaannya.
Padahal, kata Kurnia, poin 6 surat edaran Pansel menyebutkan bahwa Panitia Seleksi mengharapkan masukan secara tertulis dari masyarakat terhadap nama-nama pendaftar Calon Pimpinan KPK yang dinyatakan lulus seleksi administrasi. Maka dari itu, lanjut Kurnia, jika Pansel memandang isu ini sebagai sesuatu yang penting sudah sepatutnya latar belakang pekerjaan bisa dimuat juga dalam rilis tersebut.
"Tentu jika Pansel memandang isu ini sebagai sesuatu yang penting sudah seharusnya latar belakang pekerjaan dari para pendaftar dapat diumumkan secara terbuka untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan," kata Kurnia melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu (14/7).
Catatan lainnya terkait jadwal seleksi yang masih belum jelas. Menurut Kurnia, hal itu menandakan bahwa Pansel gagal dalam melakukan perencanaan yang baik sebelum melakukan kerja-kerja penjaringan Pimpinan KPK.
"Hal ini terkonfirmasi dalam beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa masih ada tahapan-tahapan seleksi yang tidak jelas waktu pelaksanaannya," katanya.
Kurnia juga mengaku, pihaknya berharap bahwa pada tahapan fit and proper test dapat dilakukan oleh anggota DPR pada periode selanjutnya bukan periode saat ini. Bukan tanpa alasan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi meminta hal ini.
Menurut Kurnia, anggota DPR pada era ini kerap melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Misalnya, ia mencontohkan, pembentukan Hak Angket pada beberapa waktu lalu yang justru terkesan ingin melemahkan kewenangan KPK.
"Selain itu persoalan legislasi pun tak banyak berubah, keinginan untuk merevisi UU KPK dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi bukti nyata bahwa legislatif saat ini tidak berpihak pada pemberantasan korupsi," tegas Kurnia.
Alasan lainnya ialah melihat pada potret DPR saat ini yang banyak terjaring praktik korupsi. Menurut Kurnia mengutip data ICW, sampai April 2019 lalu, setidaknya 22 anggota DPR masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan tersangka oleh KPK.
"Tentu ini menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong agar proses penentuan Pimpinan KPK dilakukan oleh DPR di masa mendatang," paparnya.
Selain itu, lanjut Kurnia, KPK pada kepemimpinan mendatang secara kelembagaan akan melakukan koordinasi dengan DPR periode 2019-2024. Untuk itu, ia memandang tidak ada urgensi bagi DPR kali ini memaksakan proses fit and proper test mesti dilakukan sebelum pelantikan legislatif baru.
"Lagi pula dinilai tidak etis jika dalam satu masa periode DPR melakukan dua kali proses seleksi Pimpinan KPK. Mengingat Pimpinan KPK saat ini juga merupakan hasil dari tahapan seleksi yang dilakukan oleh DPR periode 2014-2019," tutup Kurnia. (Dkn).