Usul Proyek Gedung DPR Kembali Menguat |
JAKARTA, SANCA NEWS.COM - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana layak ditentang. Dewan tak perlu ngotot menyelesaikan kodifikasi hukum pidana itu sebelum habis masa kerjanya, karena masih banyak pasal yang kontroversial. Aturan dalam Rancangan KUHP bahkan berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Rancangan KUHP yang memuat 786 pasal itu dibagi dalam dua buku, yakni buku mengenai ketentuan umum dan buku mengenai ketentuan tindak pidana, termasuk pidana khusus. Ada lima jenis tindak pidana khusus yang diatur, yaitu tindak pidana korupsi, hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, dan narkotik.
Kontroversi muncul lantaran aturan pidana khusus korupsi dalam Rancangan KUHP berbeda dengan undang-undang yang selama ini menjadi pegangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman dalam Rancangan KUHP umumnya lebih rendah dibanding ancaman dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu contohnya, Pasal 624 dalam Rancangan KUHP yang mengatur soal perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi yang merugikan keuangan negara. Ancaman hukuman minimal untuk kejahatan ini hanya 2 tahun penjara dan denda minimal Rp 10 juta. Hukuman itu jauh lebih rendah dibanding yang diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman minimal 4 tahun penjara dan denda minimal Rp 200 juta.
Perbedaan serupa juga muncul dalam aturan mengenai kejahatan pencucian uang. Rancangan KUHP mencantumkan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp 5 miliar. Padahal Undang-Undang Pencucian Uang yang berlaku sekarang mengatur ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar.
Pasal lain yang kontroversial menyangkut kejahatan korporasi. Rumusan kejahatan ini dalam Rancangan KUHP berpotensi menyulitkan pengusutan. Salah satu pasal dalam rancangan itu bahkan membatasi pelaku yang bisa dijerat: hanya orang yang memiliki jabatan fungsional dalam struktur perusahaan. Padahal sering kali tindak pidana ini dilakukan oleh pegawai rendah.
Upaya memerangi korupsi akan terhambat jika penegak hukum cenderung menggunakan pasal dalam KUHP. Memang, hukum kita menganut prinsip lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Artinya, hakim bisa mengutamakan UU Pemberantasan Korupsi ketimbang KUHP. Hanya, tak ada kepastian mengenai hal ini karena kita juga menganut asas lex posterior derogat legi priori (hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum lama).
Itu pentingnya kita menelaah lagi Rancangan KUHP. Dewan sebaiknya tidak terburu-buru menyelesaikan kodifikasi hukum pidana yang digagas sejak Seminar Hukum 1963 itu. DPR perlu mengakomodasi lebih dulu kritik yang disampaikan kalangan pegiat antikorupsi. Jangan sampai aturan dalam kodifikasi hukum justru akan menyulitkan kerja KPK sekaligus melemahkan upaya memerangi korupsi.